Page 174 - JALUR REMPAH
P. 174

160 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI


                   Sistem pemerintahan “Lebe Tel Rat At” (Pemerintahan “Tiga Imam Empat
               Raja”) mencerminkan pengalaman tiga bersaudara memperoleh pelajaran
               Islam di luar daerah yang dimitoskan dengan perjalanan laut ke tempat yang tak
               dikenal, memberi status keagamaan yang berbeda diantara keempat bersaudara
               itu. Oleh karena saudara ketiga, Keleliang tidak mengikuti perjalanan agama
               itu mendapatkan hanya gelar raja di Waer. Sementara itu, masalah keagamaan
               di wilayah itu menjadi tanggung jawab Leleway yang menjabat Imam dan raja
               di  negeri  Selamon.  Sementara  itu,  putri bungsu  Cilubintang mendapatkan
               kedudukan sebagai pemimpin di sebuah hunian baru di Banda Naira, negeri
               ratu. Negeri ratu sendiri adalah sebuah kampung dengan garis kepemimpinan
               menurut garis keturunan ibu (matrilineal).  Akan tetapi, persoalan keagamaan,
                                                        37
               rakyat negeri Ratu tunduk kepada raja sekaligus imam negeri Lautaka.

                   Kemudian, proses penguatan pelembagaan  Islam di kepulauan Banda
               digambarkan pula di Babad Tanah Jawa pada 1365. Meskipun dalam kronik
               Jawa ini memaparkannya dengan perkawinan politis antara Cilubintang, putri
               kampung ratu dengan salah satu bangsawan Majapahit, namun makna dari
               narasi ini adalah upaya memperkuat Islamisasi di Banda.

                   “Pada suatu waktu Raden Tanduran Raja  Majapahit jatuh sakit, namun
                   tidak satu pun obat yang dapat menyembuhkannya. Dalam tidurnya dia
                   mendengar ada suara yang mengatakan bahwa ia akan sembuh, jika ia dapat
                   mengawini seorang perempuan dari Wandan. Ia pun percaya atas nasehat
                   dari suara itu, dan perkawinan pun dapat dilaksanakan. Kemudian, wanita
                   itu melahirkan anak yang dipelihara oleh Arya Sora yang menamakan bayi
                   laki-laki itu Bondan Kajawen. Arya Sora kemudian meninggalkan kota
                   Majapahit dan mengembara di hutan-hutan bersama  Bondan Kejawen.
                   Dalam pengembaraan di hutan, pada suatu waktu Bondan Kejawen melihat
                   bidadari sedang mandi. Ia pun mengambil baju dari salah satu bidadari
                   tercantik, sehingga tidak bisa kembali ke kahyangan. Ki Bondan kemudian
                   menikah dengan salah satu bidadari cantik itu, dan dari perkawinan itu lahir
                   seorang anak laki-laki yang diberi nama Panjuwed. Pada suatu hari istirinya
                   itu mendesak kepada suaminya untuk mengambil istri dari jenis suaminya.
                   Anak perempuan Ki Gede dari Sesela dianggap yang paling pantas untuk
                   menjadi istri kedua Ki Bondan. Setelah perkawinan dengan anak Ki Gede,
                   Bidadari itu pun kembali ke kahyangan. Dari perkawinan dengan istri kedua,
                   Ki Bondan mendapatkan seorang anak laki-laki yang bernama Pamanahan.


                   37  Di kepulauan Banda apakah seorang anak mengikuti garis keturunan ibu (matrilineal) atau
               ayah  (patrilineal)  berdasarkan  pilihan  anak  setelah  akil  balik.  Informasi  ini  berasal  dari  wawancara
               dengan Usman Thalib. Ambon, 11 Mei 2017.
   169   170   171   172   173   174   175   176   177   178   179