Page 216 - BUKU KATA FADLI CATATAN KRITIS DARI SENAYAN
P. 216
DI AMBANG BAB IX
KRISIS
negara yang jumlah penduduknya kecil dan luas wilayahnya juga sempit,
seperti Bulgaria atau Turki. Sedangkan negara-negara dengan jumlah
penduduk tinggi dan berwilayah luas, seperti Rusia, misalnya, banyak yang
gagal menerapkan kebijakan ini. Ini harus jadi catatan.
Ketiga, pada akhirnya bisa atau tidaknya kebijakan redenominasi
dilaksanakan sangat tergantung pada kinerja pemerintah dalam menjaga
perekonomian nasional. Jika pemerintah dan BI gagal mengendalikan
variabel-variabel utama ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi,
inflasi, atau pengangguran, gagasan redenominasi pasti gagal.
Nah, masalahnya angka inflasi kita yang saat ini rendah itu,
yang diklaim BI sebagai situasi yang tepat untuk memulai kebijakan
redenominasi, celakanya bukanlah karena keberhasilan pemerintah
menjaga perekonomian, namun justru karena kegagalan pemerintah
meningkatkan daya beli masyarakat. Jadi, angka inflasi yang kondusif
sekarang ini bukanlah indikator positif perekonomian, tapi sebaliknya.
Dan keempat, untuk mengawal redenominasi, kita butuh sokongan
lembaga penegak hukum yang tidak tebang pilih. Kebijakan redenominasi
rentan melahirkan moral hazard. Misalnya, dalam kasus konversi harga
lama ke harga baru. Mungkin saja ada pengusaha nakal yang tak patuh,
sehingga mereka mengkonversi harga lama Rp25.000 menjadi Rp27
dalam harga baru, misalnya, padahal seharusnya harga barunya Rp25.
Redenominasi rentan melahirkan moral hazard semacam itu.
Jika penegakkan hukum kita masih seperti saat ini, bisa kita
bayangkan betapa rawannya kebijakan redenominasi ini akan melahirkan
inflasi dan hiperinflasi.
Saya mencatat bahwa isu redenominasi ini selalu digulirkan
menjelang tahun-tahun politik. Dulu digulirkan menjelang Pemilu 2014,
dan kini kembali digulirkan menjelang Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu
2019. Tapi, sekali lagi, redenominasi bukanlah persoalan ekonomi yang
urgen kita kerjakan. Pemerintah tidak seharusnya menyibukan diri dengan
isu redenominasi.
Jakarta, 28 Juli 2017
CATATAN-CATATAN KRITIS 217
DARI SENAYAN