Page 87 - BUKU TIGA - WAJAH BARU PARLEMEN INDONESIA 1959-1966
P. 87
D ARI DPR HA SIL PEMIL U 1955
KE DPR -GR
memang mengatur mekanisme checks and balances yang menimbulkan
kecenderungan ke arah sentralisasi kekuasaan oleh pihak eksekutif.
Akibatnya, peran DPR sebagai alat kontrol atau pengawas terhadap
eksekutif menjadi sangat lemah. Dalam sistem checks and balances,
seharusnya presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai kedudukan
yang sederajat, tetapi saling mengendalikan dengan lembaga parlemen
sebagai pemegang kekuasaan legislatif. UUD 1945 yang executive
heavy telah mengakibatkan organ legislatif dan yudisial tidak dapat
mengimbangi dominasi kekuasaan eksekutif.
Sebelum amandemen yang berlaku hingga masa Orde Baru,
harus diakui bahwa UUD 1945 memang memiliki kelemahan.
Pertama, UUD 1945 memberikan dasar kuat kepada kekuasaan
eksekutif (executive heavy), tidak adanya checks and balances. Presiden
menjadi penentu semua agenda politik nasional, karena Presiden
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Kedua, UUD
1945 memuat pasal-pasal yang multi-interpretable atau multitafsir
sehingga bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam arti. Ketiga,
UUD 1945 banyak memberi atribusi dan delegasi kepada presiden
untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang maupun
dengan Peraturan Pemerintah. Dalam mengatur beberapa hal penting,
presiden selalu berada pada posisi yang lebih menentukan daripada
DPR sehingga banyak materi undang-undang yang bersumber pada
kehendak presiden saja. Keempat, UUD 1945 terlalu percaya kepada
semangat dan iktikad baik orang yang berkuasa, sehingga lebih
menggantungkan pada semangat penyelenggaraan negara daripada
mengatur pembatasan-pembatasan kekuasaan secara tegas. 127
UUD 1945, sebagai konstitusi negara yang berlaku kembali sejak
Dekrit Presiden 1959, mengatur kedudukan, tugas, dan wewenang DPR
Sebelum
dalam pasal-pasal 2, 5, 11 dan 23, serta pasal-pasal 19, 20, 21, 22 dalam
amandemen yang bab khusus tentang DPR (bab VII). Menurut UUD 1945, anggota DPR,
berlaku hingga bersama utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan,
masa Orde Baru, juga merupakan anggota MPR (pasal 2 ayat 1). Undang-undang yang
dibentuk oleh presiden juga harus mendapatkan persetujuan DPR
harus diakui
(pasal 5 ayat 1). Demikian pula, saat presiden menyatakan perang,
bahwa UUD 1945 membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (pasal 11)
memang memiliki serta penetapan anggaran pendapatan belanja negara (pasal 23 ayat
kelemahan. 1), harus mendapat persetujuan DPR.
127 Mohammad Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta : Gama Media, 1999,
hlm. 116-117
SEJARAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 81
REPUBLIK INDONESIA 1918 – 2018