Page 48 - MAJALAH 102
P. 48
ingin bercita-cita jadi pelaut, bukan tentara lagi seperti dengan falsafah Jawa “ojo dumeh” (jangan mentang-
cita-cita masa SD. Saat libur sekolah tiba, ia pergi ke mentang). Dan yang paling membekas hingga kini
kawasan Pasar Ikan, Jakarta untuk melihat kapal Pinisi. adalah nasihat kearifan sang ibu. Kebetulan ibundanya
Waktu liburan dimanfaatkannya untuk bekerja di kapal adalah pengamal tirakat. Sederhana, bersahaja, dan
Pinisi tanpa dibayar. jauh dari nafsu duniawi adalah citra ibundanya.
“Kalau liburan, anak-anak muda lain liburan ke puncak, Menurut kearifan sang ibu, melakukan tirakat
saya ke Pasar Ikan cari kapal Pinisi yang mau berangkat. (mengekang nafsu) tidak hanya dengan berpuasa.
Saya bekerja di kapal Pinisi itu sampai ke Banjarmasin Contohnya, bila di meja ada pilihan makanan yang
dan Surabaya. Juragan-juragan kapal itu kalau saya ke sangat banyak, kecenderungan kita selalu aji mumpung.
sana senang, karena saya kerja di kapal tanpa dibayar,” Semua dimakan sekenyang-kenyangnya. Coba
ceritanya. Saking cintanya pada profesi pelaut, hingga perhatikan kearifan ibunya ini. “Bila ada 6 lauk pauk, pilih
lengan kanan Siswono ditato dengan gambar jangkar, 3 yang kamu paling tidak sukai dan makanlah,” ungkap
seraya menunjukkan tato istimewanya itu. Begitulah Siswono, mengutip nasihat sang ibu. “Itu suatu tirakat,
kenangan di masa SMA dahulu. pengendalian diri. Dan itu sangat membekas bagi hidup
saya dan saya ikuti hingga kini,” lanjut Siswono.
Pemuda Siswono mudah terpukau dengan profesi
yang dilihatnya menarik. Cita-citanya kerap berubah Aktivis yang Soekarnois
seiring bertambahnya usia dan pengaruh lingkungan.
Ada nasihat dari kedua orangtuanya yang membekali Sebelum menjadi mahasiswa, Siswono sudah punya
Siswono dengan kearifan. Ayahnya selalu mengingatkan bekal kecerdasan intelektual dan spriritual. Ia tumbuh
Siswono saat menyapa warga yang
menghampirinya di Semarang.
48 PARLEMENTARIA EDISI 102 TH. XLIII, 2013