Page 51 - Keadilan Agraria dan Penataan Ruang
P. 51
regulasi untuk memastikan penggunaan lahan yang terencana dan
berkelanjutan, yang merupakan salah satu prasyarat penting bagi
keberhasilan proyek-proyek perdagangan karbon. Pelanggaran
terhadap kebijakan ATR/BPN sering kali mencakup konversi hutan
menjadi lahan pertanian atau perkebunan tanpa izin, pembangunan
infrastruktur di kawasan lindung, dan penempatan bangunan
komersial di zona-zona yang seharusnya diperuntukkan untuk
kegiatan konservasi atau ruang terbuka hijau (Nasution, Lubis
and Akhyar, 2023). Praktik-praktik ini tidak hanya mengancam
keberlanjutan lingkungan dengan meningkatkan deforestasi dan
degradasi lahan, tetapi juga menghambat pelaksanaan proyek-proyek
yang berfokus pada penyerapan dan pengurangan emisi karbon.
Misalnya, proyek REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation
and Forest Degradation) bertujuan mengurangi emisi dengan cara
melestarikan hutan, dapat terganggu oleh penggunaan lahan yang
tidak sesuai (Ekawati et al., 2019).
Peran kementerian tersebut bukan hanya sebagai pengatur
tanah dan ruang, tetapi secara tidak langsung memiliki peran dalam
mendukung implementasi carbon trading di Indonesia. Penulisan ini
bertujuan menganalisis peran regulasi Kementerian ATR/BPN
dan menjelaskan implementasi regulasi dalam rangka mendukung
pengembangan proyek-proyek perdagangan karbon di Indonesia
melalui metode analisis deskriptif. Sebagai lembaga yang bertanggung
jawab atas pengaturan penggunaan tanah dan perencanaan tata ruang,
kementerian ini telah memiliki berbagai regulasi dan kebijakan untuk
memastikan penggunaan lahan yang terencana, berkelanjutan, dan
sesuai dengan ketentuan hukum.
KEBIJAKAN KEMENTERIAN ATR/BPN TERHADAP PERDAGANGAN
KARBON DI INDONESIA
Di Indonesia, keberhasilan skema perdagangan karbon tidak
hanya tergantung pada kebijakan lingkungan dan energi, tetapi juga
pada kebijakan pengelolaan lahan dan tata ruang. Peran Kementerian
36 Keadilan Agraria dan Penataan Ruang
untuk Mewujudkan Suistainable Development Goals