Page 74 - Asas-asas Keagrariaan: Merunut Kembali Riwayat Kelembagaan Agraria, Dasar Keilmuan Agraria dan Asas Hubungan Keagrariaan di Indonesia
P. 74

hukum tanah yang baru. Tampaknya, dari beberapa data menunjukkan,
             restruturisasi kelembagaan di pemerintah sendiri menjadi kendala bagi
             panitia, karena sering terjadi perubahan susunan keanggotaannya.
             Sampai dengan 20 Juni tahun 1954, Presiden masih melakukan
             pengangkatan anggota panitia yang silih berganti keluar masuk,
             terakhir diangkat dengan Keppres No. 4/1954 dengan mengangkat
             Mohammad Sardjan, wakil dari Sarikat Tani Islam Indonesia (STII).
             Begitu juga dengan kedudukan sekretaris awalnya diisi oleh Soedjaman
             Gandasoebrata dan tahun 1954 diganti dengan Dody Abdulkarim dari
             pegawai Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri.   40

                   Dalam catatan laporan akhirnya, beberapa persoalan muncul
             sebagai akibat dari perubahan personil dan mendapat tugas-tugas
             khusus dari pemerintah, maka tidak banyak yang bisa dihasilkan dari
             Panitia Agraria Jakarta. Dari sedikit itu, panitia memberi beberapa
             kesimpulan perihal tanah untuk pertanian kecil sebagai berikut:

             1.    Membatasi minimum kepemilikan tanah, luas minimum
                   ditentukan 2 hektar;
             2.    Hukum waris perlu ditinjau lagi terkait pembatasan minimum
                   dan soal hukum adat;

             3.    Pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga;
             4.    Badan hukum tidak boleh mengerjakan pertanian kecil;
             5.    Hanya penduduk warga Indonesia yang bisa memiliki tanah
                   untuk pertanian kecil;
             6.    Tidak dibedakan antara warga negara “asli” dan “bukan asli”;
             7.    Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum:

                   -    hak milik

                   40 Sebagai catatan tambahan, situasi Indonesia sepanjang 1950-1959 adalah situasi yang
             sangat tidak jelas, situasi yang rumit dan kacau dalam sistem politik dan tata negara. Meminjam
             bahasa Adrian Vickers, periode 1950-an dalam dunia politik Indonesia adalah sebuah era “the
             disappering decade”, era yang tidak jelas (obscurity). Lihat Adrian Vickers, “Why The 1950s are
             Important to The Study of Indonesia”, Paper Workshop Rethinking Indonesian Historiography,
             Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara-UGM, 2005. Secara rinci Deliar Noer dalam
             penelitiannya menyebutkan, sejak 1950-1957 telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet, dari
             kabinet Hatta sampai Kabinet Ali Sastroamidjojo II, lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas
             Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: Mizan, 2000.


                                   Dari Dirjen Agraria Menuju Kementerian Agraria  43
   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79