Page 20 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 20
demikian, dalam konflik agraria itu masyarakat adat tidak bisa
menuntut kembalinya lahan dan bebas mengelolanya secara
otonom serta dapat memperoleh ganti rugi atas penggunaan
lahan oleh negara selama hampir seperempat abad.
Reforma agraria di Senama Nenek menjadi semakin menarik
ketika menyimak bagian akhir dari tesis Fikri. Semakin jelas
bahwa reforma agraria sarat dengan ekonomi politik, dan
perebutan sumber daya ekonomi lahan sawit dan tanamannya
dirayakan dengan berbagai akses. Perebutan diselesaikan dengan
sebuah perdamian tetapi sebenarnya perusahaan masih memiliki
kuasa untuk mengontrol dan mendapatkan porsi keuntungan
yang besar. Sikap kritis tesis Fikri yang dituangkan dalam buku
ini nampak ketika memperlihatkan bahwa reforma agraria
itu berjalan tetapi muncul paradoks di mana konflik dapat
diselesaikan dengan damai, tetapi tidak mengatasi masalah yang
fundamental bagi kelangsungan masyarakat adat. Tanah yang
disengketakan tidak lagi menjadi tanah ulayat yang menjadi basis
masyarakat adat hidup dengan adat-budayanya, karena tanah
ulayat itu kemudian dikapling menjadi milik individu, dan itupun
kemanfaatannya berada di tangan perusahaan.
Sumber Bacaan:
Aprianto, T. C. 2016. Perjuangan Landreform Masyarakat
Perkebunan Partisipasi Politik, Klaim, dan Konflik Agraria di
Jember. Bogor: STPN Press.
Colbran, N. 2011. Indigenous Peoples in Indonesia: At Risk of
Disappearing as Distinct Peoples in the Rush for Biofuel?
International Journal on Minority and Group Rights.18 (1): 63-
92.
Kata Pengantar xix