Page 15 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 15
1.300 KK, warga tidak lagi memiliki tanah yang strategis kecuali
yang berhasil diklaim kembali dari pihak PTPN V. Sementara
itu, tanah di desa dikuasai perkebunan perorangan seluas 3.500
hektar, perkebunan negara seluas 12.811 hektar (PTPN V) dan
perkebunan swasta seluas 30.520 hektar. Dengan demikian,
cukup luas lahan di desa yang dikonversi menjadi lahan sawit,
sehingga masyarakat adat tidak lagi hidup dengan mengandalkan
ekonomi susbisten dan pangan.
Pada bagian pemetaan masalah agraria itu, Fikri mencermati
tentang kelembagaan masyarakat adat Senama Nenek yang
menegaskan bahwa kekerabatan mempunyai pertalian yang kuat
sekali dengan urusan tanah, dan setiap lembaga adat di masing-
masing suku mempunyai peran dalam mengatur distribusi tanah
ulayat suku. Mereka mengenal tanah ulayat negeri dan ulayat
suku. Ulayat negeri merupakan milik semua suku, sedangkan
setiap suku atau klan bersifat matrilineal. Tanah ulayat suku itu
dalam istilah di Minangkabau disebut harta pusako dan dalam
istilah di Senama Nenek disebut pusako tinggi. Dengan adanya
pusako tinggi itu, setiap keluarga bisa mengerjakan tanah ulayat
yang menjadi jatahnya. Sementara, setiap keluarga masyarakat
adat juga bisa memperoleh tanah dengan cara membeli yang
uangnya berasal dari hasil kerja di luar tanah pusako tinggi.
Tanah tersebut disebut pusako rendah. Tanah pusako rendah ini
bisa diperjual-belikan atau diwariskan kepada keturunannya.
Dengan memegang teguh adat dan budaya, orang Senama Nenek
memiliki sejarah tanah yang hidup dalam ingatan mereka dari
generasi ke generasi, sehingga masuk akal kalau mereka sangat
berkepentingan untuk menuntut kembalinya tanah ulayat yang
diambil-alih oleh PTPN V.
xiv Reforma Agraria Tanah Ulayat