Page 11 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 11
Selain ekonomi tidak membaik ketika bergabung dalam
ekonomi sawit yang dikendalikan oleh koperasi, petani
dan masyarakat adat masih distigmatisasi buruk dalam
mengembangkan usaha tanaman sawit. Di wilayah Jambi,
misalnya, banyak petani dituduh memperluas lahannya dengan
mengekspansi ke wilayah hutan (IRE, 2017). Meskipun tuduhan
itu masuk akal karena banyak tanah hutan yang dikonversi
untuk tanaman sawit, tetapi duduk masalahnya adalah banyak
perusahaan sawit yang melakukan pembakaran lahan yang
justru lebih merusak lingkungan karena dilakukan secara
masif. Sementara di sisi lain yang juga menjadi duduk masalah
sebenarnya adalah petani sawit kekurangan lahan, sehingga
membutuhkan skema redistribusi lahan sawit agar petani sawit
dapat memperoleh lahan dan manfaat dari lahan tersebut secara
adil. Negara tidak boleh meng-anakemas-kan perusahaan untuk
menggunakan tanah HGU. Dengan demikian, untuk mengatasi
masalah konversi hutan menjadi sawit rakyat itu bukan
pendekatan hukum yang ditegakkan, tetapi pemberdayaan dan
politik reforma agraria.
Di samping minimnya kekuatan organisasi, sumber masalah
sawit rakyat adalah lemahnya modal dan minimnya lahan.
Mereka sangat bergantung pada middlemen dan perusahaan
besar agar petani bisa menjamin bisnisnya dapat berjalan. Tanpa
dukungan dari negara yang kuat dalam mengatasi masalah
kebutuhan modal lancar dan peremajaan sawit, maka petani akan
bergantung pada lembaga perkreditan, tetapi mereka kemudian
mudah terjebak dalam lingkaran ekonomi hutang yang menjerat
nasibnya. Tidak ketinggalan, mereka juga tidak bisa hidup dengan
ekonomi berkelanjutan manakala lahannya sempit, sehingga
justru mengalami pemiskinan. Celakanya, mereka masih lemah
x Reforma Agraria Tanah Ulayat