Page 9 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 9
era orde baru, negara bukan hadir untuk memberikan rekognisi
atas hak-hak tradisional masyarakat adat dalam menguasai
sumber daya tanah dan memelihara kebudayaannya. Negara di era
kolonial justru meletakkan fondasi untuk mengkerdilkan hak-hak
tradisional itu. Caranya dengan memberikan otonomi terbatas
bagi masyarakat adat dalam mengurus rumah tangganya sendiri,
tetapi mengambil tanah-tanah yang tidak digarap dalam jangka
panjang, dan menjadikannya sebagai kekayaan negara. Negara
kemudian menyerahkan sebagian tanahnya itu kepada korporasi.
Melalui politik pintu terbuka yang berlangsung sejak tahun 1870,
negara kolonial memfasilitasi dan melindungi korporasi dari
berbagai penjuru dunia, khususnya dari negeri Belanda untuk
memanfaatkan tanah-tanah yang secara tradisional merupakan
miliki petani dan miliki masyarakat adat (Fauzi, 1999).
Pemerintah Orde Baru menikmati warisan kebijakan
pemerintah kolonial dan salah satu modal yang membuat
pemerintahan tersebut berjalan adalah menikmati tanah-
tanah negara tersebut. Bahkan melakukan ekspansi atas tanah
milik masyarakat adat yang secara de facto dan de jure sedang
digunakan sebagai sumber penghidupan. Oleh karena itu,
tidak mengherankan kalau kemudian pada era Orde Baru dan
bersamaan dengan meluasnya globalisasi muncul gejala masif
yang dikenal dengan nama land grabbing (Pujiarti, et al, 2021).
Beberapa studi mengungkapkan bahwa land grabbing itu tidak
hanya meruntuhkan ekonomi masyarakat adat tetapi sekaligus
menghancurkan kehidupan mereka. Alih fungsi hutan sagu
menjadi kebun sawit menjadi contoh klasik bahwa land grabbing
itu bukan memakmurkan rakyat tetapi menimbulkan kerentanan
ekonomi dan pangannya (Ellen, 2005).
viii Reforma Agraria Tanah Ulayat