Page 31 - Dari Dirjen Agraria Menuju Kementerian Agraria: Perjalanan Sejarah Kelembagaan Agraria 1948-1965
P. 31
skala luas dikuasai oleh asing untuk dieksploitasi. Sejak Agrarische
Wet 1870 lahirnya telah memunculkan masalah agraria yang bersifat
dualistis dan sangat ruwet di Indonesia. Hal ini ditandai dengan
adanya beberapa hak menurut hukum Barat untuk orang asing, yang
diatur dalam Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
sebagai jaminan perkembangan modal partikelir asing di Indonsia
dengan hak benda yang kuat. Kedua, hak tanah bagi Rakyat Indonesia
yang berlaku menurut hukum adat. Akan tetapi hak ini tidak diakui
sepenuhnya oleh Pemerintah Kolonial, misalnya dalam Stbl. 1896 no.
44 dan Stbl 1925 no. 649, kekuasaan untuk mengatur tanah yang ada
dalam lingkungan daerah desanya (tanah yang belum dibuka) sudah
tidak dimiliki lagi. 26
Ketidakadilan dalam kebijakan pemerintah kolonial terkait
tanah semakin jelas karena diberlakukannya Agrarische Besluit yang
kemudian dikenal dengan domein verklaring. Dalam pernyataan
yang cukup terkenal, “…bahwa semua tanah yang tidak ada bukti hak
eigendom-nya adalah kepunyaan negara”. Tentu saja negara dimaksud
27
adalah Pemerintah Kolonial, dan menjadi tidak berlaku hukum adat
di Indonesia karena klaim hukum Barat atas tanah Hindia Belanda.
Menurut C. van Vollenhoven, hak ulayat yang dimiliki sebagai salah
satu hak adat Hindia Belanda adalah tanah, dan hak menguasai itu
tidak diartikan dalam pengertian yang mutlak, kekuasaan masyarakat
26 “Regeerings Reglement 1854 pasal 64 alinea 3 menyebutkan pengakuan hak adat:
“Tanah-tanah yang dibuka oleh rakyat untuk pengonan umum atau keperluan lain, termasuk
dalam desa”, sebagai pengakuan akan adanya hak desa atas tanah dalam lingkungannya.
Di tempat-tempat tertentu ada tanah-tanah yang menjadi kekuasaan wilayah (daerah)
yang dinamakan Tanah Ulayat di Minangkabau, tanah Pertuanan di Ambon, Panjampeto,
Parabumian, dsb.”, namun status tersebut tidak “berlaku” lagi menurut Stbl. 1896 no. 44 dan
Stbl 1925 no. 649, lihat Mochammad Tauchid, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan
dan Kemakmuran Rakyat Indonesia, Yogyakarta: STPN Press, 2009, hlm. 15 dan 132.
27 Untuk penjelasan tentang Domeinverklaring lihat kajian menarik Herman
Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, Yogyakarta:
STPN Press, 2012, hlm. 39. Menurut Herman Soesangobeng, dasar teori anggapan tanah
daerah taklukan, yang dalam ajaran hukum Romawi disebut agri limitati (tanah taklukan) dan
oleh penguasa Belanda disebut gekonquesteert gebied, itulah yang dijadikan alasan pengesahan
hukum (rechts titel) bagi kepemilikan negara atas tanah di Jawa dan Madura. Alasan konsep
hukum ini pulalah yang kemudian dibakukan dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit 1870 (S. 1870 No.
118), menjadi ajaran, asas serta teori domeinverklaring (Pernyataan Hak Milik Negara).
20 Dari Dirjen Agraria Menuju Kementerian Agraria