Page 32 - Dari Dirjen Agraria Menuju Kementerian Agraria: Perjalanan Sejarah Kelembagaan Agraria 1948-1965
P. 32
hukum adat tidak sampai pada kekuasaan untuk menjual tanah di
wilayahnya. Artinya hak adat ini jika berhadapan dengan hukum
28
Barat menjadi sangat lemah. Sekalipun teori Domein Verklaring ini
menimbulkan perdebatan yang cukup hebat untuk diberlakukannya
di Hindia Belanda, akan tetapi praktiknya Pemerintah Kolonial tetap
menjalankannya yang mereduksi secara hebat hak-hak adat yang
berlaku di Indonesia, terutama untuk wilayah-wilayah otonom seperti
daerah Swapraja. 29
B. Panitia Agraria: Spirit Menata Hukum Agraria
Indonesia
Sebagaimana ditegaskan diawal, para pendiri negara memiliki
mimpi untuk menciptakan Hukum Tanah Nasional sebagai respon
atas produk-produk hukum Barat yang dianggap tidak cocok untuk
kehidupan nasional bahkan cenderung merugikan. Oleh akrena itu,
setelah Indonesia merdeka, Sukarno ingin mewujudkan cita-cita
sebagaimana yang pernah ia sampaikan di depan Pengadilan Kolonial
dengan “Indonesia Menggugat”-nya. Pembentukan Panitia Agraria
hanya satu upaya dalam menata pertanahan, sekalipun itu baru mimpi,
namun keteguhan dan konsistensi telah ditunjukkan oleh Sukarno
dengan terus mengontrol sekaligus menciptakan upaya-upaya untuk
mencapai tujuannya. Tentu saja berbagai upaya itu tidak mudah dan
mengalami naik uturun. Proses dan dinamikanya mengalami berbagai
hambatan dan tantangan. Bagian poin ini mencoba melihat semua
proses dan dinamika dalam periode awal pembentukan Hukum
Nasional dalam kerangka Kepanitiaan Agraria 1948 dan 1951.
1. Mimpi Pertama: Panitia Yogya, 1948
Kebijakan kolonial atas penguasaan tanah sebagaimana dikritik
oleh Sukarno dalam Indonesia menggugat tampaknya menemukan
28 C. van Vollenhoven, Indonesia dan Tanahnya, Yogyakarta: STPN Press, 2013, hlm. 7.
29 Lihat ulasan perdebatan tentang teori Domein Verklaring berbagai pakar tanah adat
Belanda dalam kajian Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 157-163.
Perjalanan Sejarah Kelembagaan Agrariia, 1948-1965 21