Page 82 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 82
Permasalahan dan Kebijakan Agraria, Pertanahan, dan Tata Ruang di Indonesia 73
pusing jika standar atau jumlah ganti rugi ditolak, oleh karena dalam ketentuan-pun, gampang
saja jika Pemegang Hak Atas Tanah tidak mau menerima jumlah ganti rugi setelah diadakan
musyawarah berkali-kali. Panitia Pengadaan Tanah cukup menitipkan saja jumlah ganti rugi
tersebut di Pengadilan Negeri, dimana lokasi pengadilan untuk pengadaan tanah tersebut
berada.
Kedudukan Tim Penilai Harga Tanah, yang hanya berfungsi sebagai lembaga koordinasi
dari Panitia Pengadaan Tanah. Standar ganti kerugian tetap berpatokan pada standar yang
ditetapkan oleh pemerintah. Berarti Tim Penilai Harga Tanah yang diharapkan independen dan
bersikap professional mustahil untuk berjalan sebagai salah satu fungsi Tim Penilai Harga Tanah
yang akan memberikan standar ganti kerugian yang layak.
Dengan demikian, “asas kelayakan”, jumlah ganti rugi yang melibatkan Tim Penilai Harga
Tanah untuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum berjalan
atau belum sesuai dengan keadilan bagi Pemegang Hak Atas Tanah.
Diabaikannya sikap professional, Tim Penilai Harga Tanah berarti hak-hak bagi pemegang
atas tanah untuk mendapatkan jumlah ganti rugi yang sepadan dengan tanah/ lokasi, dan
perumahannya yang akan digunakan untuk pengadaan tanah tidaklah tercapai.
Selain kedudukan Tim Penilai Haga Tanah hanya berfungsi sebagai “stempel” penilai ganti
kerugian buat Panitia Pengadaan Tanah. Kendala lain yang menjadi penghambat sehingga
jumlah ganti rugi tidak layak bagi pemegang hak atas tanah yakni prinsip yang dipegang oleh
pengambil kebijakan selalu mengutamakan prinsip, agar menekan biaya serendah-rendahnya
tehadap jumlah ganti kerugian. Prinsip demikian jika berhasil diterapkan dianggap sebagai salah
satu kesuksesan bagi Panitia Pengadaan Tanah. Padahal, di sisi lain telah mengabaikan
kelayakan atas jumlah ganti kerugian bagi masyarakat sebagai korban kebijakan pengadaan
tanah tersebut.
d. Problem Penetapan Lokasi
Penentuan lokasi yang akan menjadi objek pengadaan tanah dipertimbangkaan sesuai
dengan keperluan pembangunan sehingga apabila sebuah lokasi sudah ditentukan maka apabila
seluruh keberatan atas lokasi yang ditentukan sudah diselesaikan baik diterima maupun
diputuskan untuk dipindahkan, maka tidak ada upaya bagi masyarakat lagi terkait dengan lokasi
tersebut dan apabila mereka menolak maka mereka dipersilahkan untuk menempuh jalur
hukum. Hal ini hanya untuk pengadaan tanah skala besar. Untuk pengadaan tanah skala kecil,
tidak ada mekanisme yang mengatur solusi penolakan masyarakat baik untuk lokasi maupun
harga tanah. Dasar pengadaan tanah untuk skala kecil hanya kesepakatan dengan pemilik tanah.
Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemilik tanah tidak sepakat maka tidak ada upaya lain yang
dapat dilakukan selain memindahkan lokasi.
Mencermati uraian di atas peneliti memandang bahwa pengaturan pengadaan tanah skala
kecil membutuhkan substansi hukum yang lebih komprehensif dan seharusnya tidak diatur
dengan sangat sumir seperti saat ini. Berbagai masalah yang mungkin saja timbul harus
diantisipasi dengan substansi hukum yang memuat beberapa hal yang menurut penulis layak