Page 354 - Berangkat Dari Agraria
P. 354
BAB IX 331
Pancasila Dalam Konteks Kekinian
Belum lagi jika warga miskin bekerja di sektor informal. Mereka
bisa berjualan makanan, minuman, pakaian, kerajinan atau apa saja
untuk mengais pendapatan yang jumlahnya tak seberapa. Mereka
bisa menjadi distributor atau pedagang apa saja, yang penting
menghasilkan uang untuk sekedar bisa makan. Mereka bisa jadi
pemulung. Jika mereka gagal mendapatkannya melalui jalur kerja
informal, godaan untuk melakukan kejahatan bisa muncul di depan
mata. Jika tidak dibekali agama yang memadai, kejahatan bisa jadi
pilihan warga miskin.
Kejahatan kelas teri yang dilakukan warga miskin, seperti
pencurian dan pengutilan atau kejahatan kelas kakap seperti
penodongan dan pembunuhan karena motif kebutuhan hidup, bisa
terjadi karena dipicu frustasi kemiskinan. Mereka mengalami jalan
buntu, sehingga tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk mengais
rejeki. Mereka gelap mata dan nekad berbuat jahat. Angka kejahatan
bisa meningkat. Pancasila pun menjadi tak relevan bagi warga
miskin.
Gugatan kemerdekaan?
Jika warga miskin hidup di perdesaan, biasanya karena tidak
punya akses dan pengendalian terhadap tanah dan kekayaan alam
di desanya. Petani di perdesaan rata-rata hidup miskin dan tak
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya karena tak punya tanah
atau tanahnya terlampau sempit. Atau mereka kehilangan tanahnya
karena dicaplok proyek-proyek pembangunan, atau karena proses
jual beli yang dilatarbelakangi motif keterbatasan ekonomi.
Selain karena kemiskinan, faktor ketimpangan sosial ekonomi
juga memicu rendahnya daya terima warga atas Pancasila. Tingginya
pendapatan suatu kelompok tertentu yang minoritas, dibading
dengan mayoritas yang berpenghasilan rendah, bisa menciptakan
ketimpangan sosial ekonomi. Jika dibiarkan, ketimpangan bisa
menyulut kecemburuan sosial yang menjadi api dalam sekam
penyulut kerusuhan atau konflik sosial lainnya.