Page 30 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 30
1.1 KUASA TERITORIALISASI
Sejumlah kutipan ide-gagasan dari para pendiri negara tersebut,
jelas menunjukkan betapa masalah agraria (tanah) telah menjadi
pokok bahasan utama dalam agenda pendirian NKRI. Para pendiri
Republik Indonesia sedari awal telah menyadari bahwa suatu program
pembangunan, terutama yang memihak rakyat banyak, perlu dilandasi
lebih dahulu dengan “penataan kembali masalah pertanahan” sebelum
jauh menjangkau industrialisasi. Itulah sebabnya, lanjut Wiradi (2000),
walaupun umur republik masih sangat muda, namun pada 1948 telah
dibentuk “Panitia Agraria”, untuk memikirkan secara serius masalah
pertanahan.
Proses inisiasinya dimulai dari Panitia Agraria Yogya (1948), Panitia
Jakarta (1951), Panitia Suwahjo (1956), Rancangan Sunaryo (1958),
hingga Rancangan Sudjarwo (1960) yang menjadi dasar penyusunan
RUU Agraria baru menggantikan hukum agraria yang bersumber dari
Agrarische Wet 1870. RUU inilah yang kemudian diterima dan disahkan
oleh DPR-GR dan diundangkan pada 24 September 1960 dalam
Lembaran Negara bernomor 104 Tahun 1960, sebagai UU No. 5/1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (lebih dikenal sebagai
UUPA). Dengan asumsi negara tidak harus bertindak sebagai pemilik
tanah manapun, tetapi bahwa sebagai penguasa tertinggi masyarakat,
negara harus mempunyai wewenang untuk mengendalikan hak-hak dan
penggunaan yang efektif dari semua tanah, air dan angkasa dalam wilayah
negara (Soemardjan, 1984).
UUPA 1960 diharapkan mengganti azas domein negara yang
diperkenalkan Thomas Stamford Raffles pada 1811-1816, dengan
sebuah konsep politico-legal baru yang disebut “Hak Menguasai dari
Negara” (baca: HMN). Yang menurut Rachman (2012), merupakan
hukum agraria nasional pertama berdasarkan Pancasila dan sesuai
dengan semangat Pasal 33, Ayat 3 UUD 1945. Dengan konsep HMN ini,
Pemerintah Pusat memiliki kekuasaan untuk merencanakan, mengatur
dan menata-guna tanah dan kekayaan alam, menentukan hubungan-
Tanah Sebagai Sumber Kemakmuran 3