Page 96 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 96
ada sebelumnya. Dalam konteks tersebut pernyataan Dharmawan (2005)
menjadi sangat relevan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di
kawasan Delta Mahakam sebagai “ketimpangan pertukaran energi, materi
dan informasi dalam suatu ekosistem yang tidak berkeadilan”, akibat tidak
memadainya semangat pemihakan pada lingkungan yang terkandung
dalam setiap keputusan politik tentang pengelolaan sumberdaya alam
yang dihasilkan dan dijalankan oleh otoritas kebijakan lokal.
Sementara persepsi masyarakat setempat yang menganggap tanah-
tanah yang mereka garap secara turun temurun sebagai tanah milik,
akibat minimnya pengetahuan atas status lahan yang mereka kuasai
dan manfaatkan, menjadikan pembukaan tambak-tambak baru di dalam
kawasan hutan produksi tanpa izin terus berlangsung. Pembukaan hutan
mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan tersebut,
mencapai puncaknya pasca terjadinya krisis ekonomi regional pada 1997-
1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga
terjadi “booms harga udang”. Berdasarkan data statistik perikanan
Kalimantan Timur, peningkatan luasan tambak mencapai puncaknya
pada 2001 seluas 36.634 Ha dan kembali mengalami peningkatan secara
fantastik hingga mencapai 120.763 Ha pada 2006. Kondisi ini secara
tidak langsung telah memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan
Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan
di sektor perikanan budidaya, membuka hutan mangrove yang tersisa
dengan cara merintis lahan tanpa melapor atau dengan meminta izin
garap dari otoritas lokal atas “lokasi” hutan mangrove yang bisa dirintis
menjadi area pertambakan baru. Kisah sukses petambak yang mampu
meraup keuntungan besar, sehingga sebagian diantaranya mampu menjadi
ponggawa beromset milyaran rupiah perbulan, juga memberikan pengaruh
yang tidak kalah pentingnya dalam memotivasi perkembangan usaha
pertambakan.
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal 69