Page 94 - Mahadelta: Manifesto Penguasaan Tanah Terlarang
P. 94
kepentingan investor migas bermodal besar yang telah memberikan
pemasukan dana bagi hasil yang luar biasa besarnya bagi devisa negara.
Tentunya jika dibandingkan dengan memberikan konsesi HPH pada
perusahaan kehutanan atau memberikan hak legalitas atas penguasaan
“tanah-tanah negara” yang telah dikelola masyarakat setempat secara
turun-temurun.
Penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi terbatas,
merupakan bentuk “kamuflase kebijakan” oleh pemerintah untuk
mengurangi efek sosio-politis atas beroperasinya kegiatan pertambangan
migas di kawasan Delta Mahakam. Sekalipun ditunjuk sebagai
kawasan lindung pun, “kamuflase kebijakan” untuk mengamankan
operasi pertambangan migas di negara ini akan tetap berjalan, karena
pemerintah telah menyiapkan PP No 51/1993 sebagai antisipasinya.
Kebijakan tersebut kembali menegaskan bahwa, “dalam hal terdapat
deposit mineral/kekayaan alam lainnya yang bila diusahakan dinilai amat
berharga bagi negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung dapat
diijinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku”.
Namun, karena penetapan status sebagai hutan produksi terbatas efeknya
jauh “lebih aman” dibandingkan menetapkan kawasan hutan mangrove
yang terletak di pulau-pulau dengan luasan kurang dari 10 Km² tersebut,
sebagai kawasan konservasi atau kawasan budidaya non kehutanan.
Maka kebijakan tersebut dirasakan belum perlu dijadikan tameng atas
berlakunya konsesi Blok Mahakam. Selain karena menguatnya kampanye
di aras lokal maupun internasional yang menolak aktivitas pertambangan,
apalagi di dalam kawasan konservasi.
Ironisnya, meskipun telah menetapkan kawasan Delta Mahakam
sebagai KBK yang terlarang bagi kegiatan lain diluar sektor kehutanan,
namun pemerintah tidak pernah berniat menertibkan kegiatan
pertambakan yang dalam perspektif kehutanan dikategorikan sebagai
ilegal. Pembangunan tambak-tambak baru yang terus berlangsung dan
ketidak-pedulian masyarakat atas berlakunya hukum formal, semakin
menguatkan indikasi absennya negara sebagai pemilik otoritas tertinggi
atas tanah-tanah negara, sehingga terjadinya praktek-praktek penguasaan
Merajut Serpihan Sejarah Agraria Lokal 67