Page 180 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 180
Akses Masyarakat Atas Tanah
C. Aksesibilitas Rakyat dan Pasar
Sebelum abad XX Sultan menjadi penguasa dan pemilik atas
tanah di wilayah kerajaannya. Sementara rakyat yang disebut
kawula ndalem berhak menempatinya dengan hak meng-
garap, anggaduh secara turun temurun. Memasuki tahun
1919, dilakukan ‘Reorganisasi Tanah’ yang memberi akibat
pada dihapuskannya sistem apanage, dilakukannya pemben-
tukan kelurahan, pemberian hak andarbe pada rakyat, penga-
turan sistem sewa tanah baik untuk pribumi maupun golongan
6
Eropa dan Timur Jauh, serta pengurangan kerja wajib .
Dengan reorganisasi itu rakyat memiliki hak atas tanah
yang kuat, tidak hanya mempunyai kedudukan seperti semula
yang bersifat anggaduh atau menumpang, tetapi memiliki hak
penuh sebagai tanah milik (anggaduh). Selo Soemardjan
menggambarkan dengan apik perubahan ini,
‘Kedudukan kaum tani di Yogyakarta dalam hubungannya
dengan pemerintah dan masyarakat dalam perspektif
sejarah bisa disimpulkan sebagai berikut: bahwa di masa
sebelum perubahan hukum tanah di tahun 1918 kaum tani
hanya mempunyai kewajiban dan tak mempunyai hak,
bahwa antara 1918 dengan 1951 mereka mempunyai kewa-
jiban dan hak, dan sejak dihapuskannya pajak tanah di tahun
1915 mereka hanya mempunyai hak dan boleh dikata tidak
mempunyai kewajiban’. 7
6 Nuraini Setiawati, ‘Dari Tanah Sultan menjadi Tanah Rakyat: Pola Pemilikan,
Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Yogyakarta setelah Reorganisasi Tanah
1917’, Tesis pada Program Studi Sejarah Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Uni-
versitas Gadjah Mada, 2000.
7 Selo Seomardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University, 1981), hlm 177.
157