Page 185 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 185

Keistimewan Yogyakarta
            E. Yogyakarta dalam Kedudukannya sebagai Swapraja

            Mengenai kedudukan swapraja, Usep Ranawidjaja menje-
            laskan bahwa swapraja merupakan produk yang menandai
            naik turunnya relasi antara kerajaan-kerajaan di Nusantara
            dengan VOC (kemudian pemerintah Hindia Belanda). Kedua
            belah pihak mengadakan perjanjian untuk mengakui kebera-
            daannya masing-masing. Pada gilirannya, penguasa-penguasa
            dalam kerajaan-kerajaan itu ditetapkan dalam jabatannya
            sebagai kepala pemerintahan swapraja dan dijadikan alat ne-
            gara. Kedudukan swapraja didasarkan pada kontrak politik,
            baik yang berupa kontrak panjang (lange contract) maupun
            pernyataan pendek (korte verklaring). Kedua kontrak bernilai
            sama, yaitu suatu ketetapan pemerintah Belanda yang harus
                                                      14
            diterima oleh swapraja yang bersangkutan.  Perjanjian
            dengan Kesultanan Yogyakarta melalui lange contract dan
            Kadipaten Pakualaman melalui korte verklaring.
                Dengan menjadi daerah swapraja maka statuta atau
            sumber hukum yang berlaku di swapraja itu secara hierarkis
            adalah: pertama, apa yang tersurat dalam kontrak politik
            dengan pemerintah Belanda; kedua, hukum adat ketatanega-
            raan dan tertulis dari daerah swapraja itu sendiri; ketiga, dan
            ketentuan umum yang terdapat dalam hukum antar-negara
            (volkenrecht) seperti pembajakan di laut bebas dan lain-lain. 15
            Dengan demikian, dilihat dari ketatanegaraan, keberadaan
            kontrak politik itu dan hierarki statuta yang ada, maka menjadi
            swapraja artinya tidaklah ‘merdeka’ sebab menjadi bagian dari



            14   Usep Ranawidjaja, Swapradja, Sekarang dan di hari Kemudian, (Jakarta:
             Penerbit Djambatan, 1955), hlm. 2—3.
            15  Ibid.

            162
   180   181   182   183   184   185   186   187   188   189   190