Page 183 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 183
Keistimewan Yogyakarta
dipikirkan bagaimana cara terbaik melakukan penataan ulang
kepemilikan tanah, dan sistem pertanian yang ada di dalam-
nya. Pada masa inilah dilakukan dekolonisasi hukum agraria.
Kebijakan liberalisasi pertanian di Hindia Belanda pada masa
kolonial yang masih berlaku saat itu, semenjak berlakunya
Agrarische Wet 1870, dikaji ulang.
Setahun sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indone-
sia, pada tahun 1946, pemerintah langsung membentuk kepa-
nitian yang diarahkan melakukan penyusunan undang-undang
agraria. Lahirnya UU No. 13 tahun 1946 memberlakukan peng-
hapusan tanah-tanah perdikan. Selanjutnya adalah masalah
tanah konversi, tanah sewa, erfpacht, dan konsensi landbouw.
Melalui Penetapan Presiden No.16 tahun 1948 dibentuk Panitia
Agraria yang dikenal sebagi Panitia Agraria Yogya, selaku ke-
tuanya adalah Sarimin Reksodihardjo. Tugas panitia itu adalah
mengembangkan pemikiran-pemikiran untuk sampai kepada
usulan-usulan dalam rangka menyusun hukum agraria baru,
pengganti hukum kolonial 1870.
Tahun 1950-an melalui Menteri Pertanian Soenaryo digo-
dok rancangan undang-undang agraria. Berbagai simposium
di beberapa kota diadakan untuk menggodoknya. Tanggal 1
Agustus 1960, RUU baru hasil kerjasama Departemen Agraria,
Panitia Ad Hoc DPR, dan Universitas Gadjah Mada diajukan
ke DPR GR. RUU itu akhirnya disetujui DPR-GR pada tanggal
24 September 1960 dalam Lembaran Negara No.104 Tahun
1960 sebagai Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pera-
turan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau dikenal dengan istilah
UUPA. UUPA diikuti oleh peraturan pengganti pemerintah
penganti undang-undang No.56 Tahun 1960 (yang dikenal
dengan undang-undang landreform). Tanggal 24 Sepetember
160