Page 189 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 189

Keistimewan Yogyakarta
            Kemerdekaan RI. Dalam mengeluarkan amanat itu Sultan tidak
            mengabaikan perhitungan yang cermat atas kekuatan yang
            ada di pihaknya, yaitu kaum intelektual, tokoh-tokoh politik,
            pemuda, dan rakyat yang diajak bicara sebelum Amanat 5
            September diumumkan.  22
                Terhadap keberlangsungan eksistensi swapraja dalam
            pemerintahan Republik, Usep Ranawidjaya mengajukan tiga
            kemungkinan dalam melihatnya . Pertama, mempertahan-
                                         23
            kan swapraja dalam kedudukannya seperti yang masih berlaku
            pada waktu itu (1955). Kedua, menghapus keberadaan swa-
            praja dan menempatkannya pada posisi daerah pada umum-
            nya. Ketiga, menjadikan swapraja menjadi daerah istimewa
            sebagaimana dimaksud oleh UU Nomor 22/ Tahun 1948. Ber-
            dasarkan inilah kemudian Yogyakarta dinyatakan sebagai
            daerah istimewa dengan dikeluarkannya UU No 3/1950.
                Dijelaskan bahwa keistimewaan dari suatu daerah bukan
            terletak dalam sifat dan kedudukannya sebagai daerah oto-
            nomi, melainkan dalam sifat pemimpinnya, yakni kepala
            daerah istimewa yang diangkat oleh presiden dari keturunan
            keluarga yang berkuasa pada zaman sebelum RI. Sesuai aturan
            ini, maka tidak semua daerah swapraja berpotensi menjadi
            daerah istimewa. Ditambah lagi dengan keinginan rakyat yang
            menghendaki tiadanya lagi keberadaan swapraja. Usep Rana-
            widjaja cenderung menyetujui yang ketiga ini. Namun ia mene-
            gaskan, mengutip tulisan seorang pangeran dari Paku Alaman,




            22   P.J. Suwarno. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan
             Yogyakarta, 1942—1974: Sebuah Tinjauan Historis, (Yogyakarta: Kanisius,
             1994), hlm. 170—171.
            23  Usep Ranawidjaja, op.cit., hlm. 93—111.

            166
   184   185   186   187   188   189   190   191   192   193   194