Page 224 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 224

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya

               selanjutnya akibat pertambahan penduduk menyebar dari
               tempat-tempat awal ini.
                   Dalam kaitannya dengan Yogyakarta, Farida menyebutkan
               bahwa sejak perjanjian Giyanti ditandatangani, Belanda
               merasa berhak ikut campur dalam masalah-masalah politik
               Jawa. Modus vivendi baru segera tampak dari kondisi ini. Para
               pangeran Jawa nampak jelas memiliki kekuasan yang bersifat
               spiritual dan politik sedangkan Belanda (ras putih) diam-diam
               mengawasi keputusan yang diambil dan juga keuntungan
               dalam bidang ekonomi. 3
                   Meskipun demikian Yogyakarta sebagai wilayah kerajaan
               tetap berada di bawah kekuasaan kesultanan. Pembagian ru-
               ang seperti yang telah disebutkan tidak secara otomotis mene-
               tapkan hubungan pemilikan yang tetap antara ruang/tanah
               tertentu dengan individu yang berada diatasnya. Karena
               keberadaan individu atau kelompok tertentu yang sudah dipi-
               lah-pilah itu lebih pada posisi ‘ditempatkan’ bukan ‘menem-
               patkan diri’. Hubungan antara manusia dan ruang yang ditem-
               patinya melahirkan perbedaan hak, kewajiban, status, dan cara
               hidup. Menurut Harvey (2005), kesadaran atas ruang tinggal
               memungkinkan seseorang mengenali aturan ruang dan tempat
               dalam sejarah hidupnya, membangun relasi dengan ruang di-
               sekitarnya, dan mengenali bagaimana transaksi antar individu
               dan organisasi dipengaruhi oleh ruang yang memilah-milah
               (separate) mereka. Hal ini memungkinkannya mengenali hu-
               bungan antara dirinya dan tetangganya, batas wilyahnya, dan
               bahasa keseharian yang mereka gunakan. Relasi penguasaan



               3  Farida Soemargono, Sastrawan Malioboro 1945-1960, (Nusa Tenggara Barat:
                Lengge, 2004) hlm. 3—5.

                                                                  201
   219   220   221   222   223   224   225   226   227   228   229