Page 228 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 228

Perebutan Ruang dan Kontestasi Budaya

               manusia yang berada di atasnya memberi status, cara baru
               interaksi, dan identitas khusus mampu mendorong proses-
               proses kreatif dalam berbagai situasi baru di masa selanjutnya.
               Tetapi di masa itu (abad ke-18-19) otoritas yang mengatur
               konversi ruang dan penempatan-penempatan berada di
               keraton sebagai pusat kekuasaan. Sehingga prinsip-prinsip
               pengaturan ruang dalam kalkulasi ekonomi belum muncul.
               Ruang dimaknai sebagai ruang sosial yang pekat dalam
               interaksi komunal yang terjalin secara hirarkis namun penuh
               dengan nuansa kekerabatan, sesuatu yang hilang pada ruang
                           7
               kota modern.  Suatu kebudayaan bagaimanapun tidak dapat
               dilepaskan begitu saja dari ruang dimana kebudayaan itu
               dibangun, dipelihara, dilestarikan atau bahkan diubah. 8
                   Konstruksi keistimewaan melihat bahwa keraton adalah
               pusat tradisi yang posisinya perlu diperteguh dengan
               legitimasi hukum formal agar mampu menjadi penjaga
               kebudayaan.  Pertanyaannya yang perlu dimunculkan adalah
                          9
               apakah tradisi, nilai-nilai luhur, keraton, dan sebagainya masih


               7  Hubungan seperti itu tampak dalam gambaran kehidupan priyayi dan abdi
                yang disajikan Umar Kayam dalam bukunya Mangan Ora Mangan Kumpul.
                Sobari, dalam pengantarnya, melihat bahwa semua jenis tata hubungan—
                dalam keluarga, dalam kelompok, dan dalam tata negara—harus serba
                selaras. Dua kekuatan ini (priyayi dan abdi) tak harus bertarung untuk saling
                meniadakan—sebagaimana Marx melihat ralasi buruh-majikan, melainkan
                malah wajib saling memperkuat. Mereka hidup dalam prinsip simbiosis-
                mutualisme. Lihat Mohamad Sobary, “Ki Ageng Kayam Memandang Dunia”,
                dalam Umar Kayam, Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih, (Jakarta:
                Pustaka Utama Grafitti, 1997) hlm. ix.
               8  Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka
                Pelajar, 2007) hlm. 4.
               9  Pemberian kewenangan dalam bidang kebudayaan didasarkan pada
                petimbangan bahwa Yogyakarta – Kesultanan, Pakualaman, dan rakyat Yog-

                                                                  205
   223   224   225   226   227   228   229   230   231   232   233