Page 15 - Resonansi Landreform Lokal di Karanganyar: Dinamika Pengelolaan Tanah di Desa Karanganyar
P. 15
2 Aristiono Nugroho, dkk.
patan melaksanakan landreform yang berkelanjutan, maka Desa
Ngandagan justru mempraktekkan landreform lokal ala Desa
Ngandagan (lihat Nugroho, 2011:vii-viii).
Kondisi masyarakat Desa Ngandagan ini tidak dapat
dilepaskan dari peran Soemotirto, Kepala Desa Ngandagan an-
tara tahun 1947 – 1964. Pada masa pemerintahannya, Soemotirto
telah melaksanakan kebijakannya sendiri, yang dengan
perspektif kekinian dibaca sebagai “landreform lokal ala Desa
Ngandagan”. Saat itu Soemotirto telah mengambil alih tanah
darat (ladang/tegalan) milik Asisten Wedana Kusumo Mangun-
harjo Besali seluas 11 Ha yang diterlantarkan oleh yang bersang-
kutan. Selanjutnya oleh Soemotirto 1 Ha dibagikan kepada warga
Desa Kapiteran, sedangkan yang 10 Ha dibagikan kepada warga
Desa Ngandagan. Tanah ini, yang oleh masyarakat Desa Ngan-
dagan disebut “Tanah Siten” digarap oleh 49 keluarga petani
Desa Ngandagan (lihat Nugroho, 2011:vi).
Selain itu, Soemotirto juga menetapkan dan melaksanakan
kebijakan, bahwa setiap warga Desa Ngandagan yang memiliki
2
tanah sawah seluas 300 ubin (1 ubin sama dengan 14 m ) atau
lebih, wajib menyerahkan 90 ubin kepada Pemerintah Desa
Ngandagan untuk diredistribusikan kepada 2 (dua) keluarga
petani yang tidak memiliki tanah sawah. Mereka yang memiliki
tanah seluas 300 ubin atau lebih disebut kulian atau kuli baku,
sedangkan yang menerima redistribusi tanah dengan pola ini
disebut buruh kulian atau buruh kuli. Kepemilikan tanah sawah
dalam program ini tetap berada pada kulian, sedangkan buruh
kulian hanya diberi hak menggarap saja, yang hasilnya diperun-
tukkan bagi buruh kulian yang bersangkutan dan keluarganya.
Program redistribusi tanah ini diikuti oleh 64 kulian, sehingga
dapat memberikan hak garap kepada 128 keluarga petani yang