Page 172 - Konstitusionalisme Agraria
P. 172
masukan non-organik seperti pestisida, pupuk urea dan
sebagainya.
3. Sengketa tanah di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan
penerbitan HGU maupun karena pembangunan Perusahaan
Inti Rakyat (PIR) dan program sejenisnya, seperti tebu rakyat
intensifikasi (TRI).
4. Sengketa akibat penggusuran tanah untuk industri pariwisata,
real estate, kawasan industri, pergudangan, pembangunan
pabrik dan sebagainya
5. Sengketa tanah akibat pengusuran-penggsuran dan
pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan
sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum
maupun kepentingan keamanan.
6. Sengketa akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena
pembangunan taman nasional atau hutan lindung dan
sebagainya yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan.
Sejumlah konflik yang terjadi pada periode pembangunan
atau pada masa Orde Baru terjadi karena perampasan tanah yang
dilakukan oleh negara dilakukan atas dasar otoritas negara yang
dilegitimasi oleh adanya konsepsi Hak Menguasai Negara. Artinya,
bila pemerintah menyampaikan bahwa tanah yang menjadi
objek konflik sebagai tanah negara dan negara punya hak untuk
mengatur dan mempergunakannya atas nama pembangunan, maka
rakyat harus minggir. HMN sebagai kekuasaan tertinggi yang bisa
dilekatkan atas tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, tetap dianut dan dijadikan dasar legitimasi bagi pelbagai
unjuk kekuasaan dalam pengadaan tanah untuk proyek-proyek
pembangunan (Fauzi dan Bachriadi, 1998). Seakan atas nama HMN,
maka negara dapat dibenarkan melakukan apa saja tanpa batasan,
bahkan ketika hal itu menimbulkan penderitaan bagi rakyat yang
memiliki tanah.
HMN diterapkan dengan menuntut kepatuhan rakyat kepada
penguasa sebab dipandang apa yang baik menurut penguasa adalah
yang terbaik bagi rakyatnya. Orde Baru mengamalkan dengan
Konstitusi Agraria dan Penggunaannya dalam Tiga Rezim Pemerintahan 141