Page 219 - Konstitusionalisme Agraria
P. 219

BPN pada tahun 2010 mensinyalir 52% aset terutama tanah hanya
            dikuasai oleh 0,2% orang di Indonesia.
                 Sementara itu, alokasi tanah untuk usaha raksasa semakin
            meluas. Jaringan Advokasi Tambang mencatat 35% daratan
            Indonesia telah dialokasikan untuk izin pertambangan dan Sawit
            Watch mencatata 9,4 juta hektar telah menjadi lahan perkebunan
            sawit. Diperkirakan pada tahun 2020 lahan perkebunan sawit akan
            mencapai 20 juta hektar. Institute for Global Justice pada tahun 2010
            mengindikasikan bahwa 175 juta Ha wilayah tanah air Indonesia atau
            setara dengan 93% luas daratan Indonesia telah diberikan untuk
            sejumlah konsesi kehutanan, pertambangan dan perkebunan.
                 Belum lagi kerentanan penduduk di kawasan hutan sebab 70%
            daratan Indonesia telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai kawasan
            hutan dimana ada 33.000 desa berada di dalam dan sekitarnya tanpa
            izin resmi pemerintah. Bila menggunakan “kaca mata kuda” yang
            secara hitam putih memandang peraturan, maka 33.000 desa yang
            setara 45% desa dari jumlah keseluruhan desa di Indonesia rentan
            menghadapi tuntutan hukum sebab UU Kehutanan menyatakan
            setiap orang dilarang menduduki kawasan hutan tanpa izin. Orang
            yang menduduki kawasan hutan tanpa izin dapat dikenakan
            hukuman penjara.
                 Data-data itu menunjukan bahwa masalah konflik agraria
            kian hari semakin kronis. Tapi ironisnya, pemerintah tidak pernah
            bersungguh-sungguh ingin menyelesaikan persoalan. Misalkan
            dalam menangani konflik di Mesuji, pemerintah telah membuat Tim
            Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Tapi setelah tim tersebut selesai
            bekerja, tidak ada penyelesaian yang sebenarnya. Bahkan konflik
            kembali bergejolak (Kompas, 25/2/2012; 28/5/2012).
                 Implikasi yang tidak kalah runyamnya yang terjadi pada periode
            ini adalah tumpang tindih perizinan dalam pengelolaan sumber
            daya alam. Hal dipengaruhi oleh sektoralisasi pengaturan sumber
            daya alam ditambah dengan desentralisasi. Sehingga terjadikan
            sektoralisasi horizontal dan vertikal dalam pengurusan sumber daya
            alam yang menimbulkan tumbang tindih perizinan. Sebagai contoh
            untuk wilayah Kalimantan Timur bahkan luas konsesi pemanfaatan


               188     Konstitusionalisme Agraria
   214   215   216   217   218   219   220   221   222   223   224