Page 253 - Konstitusionalisme Agraria
P. 253
Perkara itu diregistrasi di Mahkamah Konstitusi dengan
Nomor Perkara 003/PUU-III/2005. Pengujian yang dimohonkan
adalah pengujian formil atas pembentukan Perpu No. 1 Tahun 2004
tentang Perubahan atas UU Kehutanan yang kemudian disahkan
oleh DPR menjadi UU No 19 Tahun 2004 tentang Perubahan UU
Kehutanan. Selain pengujian formil, pemohon juga mengajukan
pengujian materil dengan mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 83A
dan Pasal 83B yang tersebut yang berbunyi: “Semua perizinan atau
perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah
ada sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian
dimaksud.” Ketentuan tersebut merubah makna larangan kegiatan
pertambangan di dalam kawasan hutan lindung yang sudah
diatur sebelumnya dalam Pasal 38 ayat (4) yang berbunyi “Pada
kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan
pola pertambangan terbuka”. Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan permohon tersebut yang putusannya dibacakan dalam
sidang terbuka pada hari kamis, 7 Juli 2005.
Konstitusionalitas tambang di dalam kawasan hutan lindung
Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Pasal 83A Perpu No.
1 Tahun 2004 memang merupakan penyimpangan sementara
ketentuan Pasal 38 ayat (4) yang berbunyi “Pada kawasan
hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola
pertambangan terbuka.” Sifat sementaranya adalah pada kata-kata
“Sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.” Sehingga,
pada dasarnya penambangan dengan pola pertambangan terbuka di
kawasan hutan lindung tetap dilarang di Indonesia, kalau pun ada
penyimpangan sifatnya adalah transisional (sementara). Dalam hal
ini, meskipun Mahkamah Konstitusi sependapat dengan seluruh
dalil para Pemohon tentang berbagai bahaya dan dampak negatif
penambangan dengan pola pertambangan terbuka di kawasan
hutan lindung, tetapi Mahkamah Konstitusi juga dapat memahami
alasan pembentuk undang-undang tentang perlunya ketentuan
222 Konstitusionalisme Agraria