Page 254 - Konstitusionalisme Agraria
P. 254
yang bersifat transisional yang diberlakukan bagi suatu pelanjutan
keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested rights/
acquired rights), yaitu izin atau perjanjian yang telah diperoleh
perusahan pertambangan sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Oleh karena itu, sebenarnya secara
limitatif, pertambangan terbuka di dalam kawasan hutan lindung
diperbolehkan sementara waktu untuk perusahaan yang sedang
beroperasi pada saat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dibuat. Kedepan, keberadaan penambangan baru yang dilakukan
secara terbuka di atas kawasan hutan lindung adalah hal yang
bertentangan dengan Pasal 38 ayat (4) UU Kehutanan.
Tidak tumpang tindih kebijakan
Catatan penting lain yang disampaikan Mahkamah Konstitusi
dalam putusan tersebut adalah bahwa seharusnya Pemerintah
konsisten dan memiliki ukuran-ukuran yang obyektif dalam
menentukan apakah suatu kawasan hutan merupakan kawasan
hutan lindung atau bukan, agar memberikan kepastian hukum
bagi semua pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut Mahkamah
Konstitusi mempertimbangkan bahwa perlu ada koordinasi yang
baik antara departemen yang membawahkan sektor kehutanan
dengan departemen yang membawahkan sektor pertambangan, agar
jangan terjadi tumpang tindih dan kekacauan kebijakan. Kejelasan
tentang penentuan fungsi kawasan hutan dan kejelasan tentang
pembagian kewenangan antara instansi pemerintah merupakan
hal yang penting untuk menjadikan penguasaan negara atas tanah
dan sumber daya alam lainnya menjadi berguna untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mahkamah Konstitusi, juga menyampaikan bahwa UU No.
19 Tahun 2004 juncto Perpu No. 1 Tahun 2004 secara substansial
tidaklah inkonstitusional sepanjang dalam pelaksanaannya izin-izin
atau perjanjian-perjanjian yang telah ada sebelum berlakunya UU No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyesuaikan dengan undang-
undang tersebut, setidak-tidaknya bagi perusahaan-perusahan yang
Konstitusi Agraria dan Mahkamah Konstitusi 223