Page 259 - Konstitusionalisme Agraria
P. 259
“Mengangkut” atau kata “Alat angkut” sebagai tindak pidana dalam
UU Kehutanan. Mahkamah Konsitusi dalam putusannya yang
dibacakan pada tanggal 13 September 2005 menyatakan pemohon
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Pemisahan antara substansi norma dan keberlakuannya
Dalam putusan itu Mahkamah Konsitusi kembali menegaskan
bahwa antara substansi norma dan keberlakukan norma adalah dua
hal yang terpisah. Mahkamah Konstitusi hanya menguji substansi
norma yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, tidak
mengadili keberlakuan atau penerapan norma hukum. Sebagaimana
disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa uraian pemohon
dan keterangan yang diperoleh dalam persidangan, kerugian yang
dialaminya karena alat yang dia miliki disita oleh negara karena
kedapatan mengangkut hasil hutan illegal terjadi adalah karena
pelaksanaan penegakan hukum di lapangan yang dilakukan oleh
para aparatur penegak hukum (Polisi Kehutanan, POLRI, TNI-AL),
bukan karena sifat dari norma yang bertentangan dengan konstitusi.
Mahkamah Konstitusi juga menyampaikan bahwa seandainya pun
benar bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum di lapangan
terdapat ekses yang merugikan atau dapat diduga merugikan hak-hak
pemohon, namun hal dimaksud tidak berkaitan dengan persoalan
konstitusionalitas undang-undang yang dimohonkan pengujian.
UU Kehutanan tidak konservatif
Mahkamah Konstitusi membantah anggapan dari pemohon yang
menyatakan bahwa UU Kehutanan bersifat konservatif sehingga
merugikan pemohon. Justru sebaliknya, menurut Mahkamah
Konstitusi, politik hukum kehutanan Indonesia melalui UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah dalam rangka pelaksanaan
hak-hak asasi manusia Indonesia sekarang dan generasi yang
akan datang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat
dan dalam rangka implementasi pembangunan nasional yang
berkesinambungan (sustainable development) sesuai dengan
228 Konstitusionalisme Agraria