Page 262 - Konstitusionalisme Agraria
P. 262
kepada negara tanpa hak menuntut ganti rugi apapun apabila terjadi
tindak pidana. Sebenarnya permohonan tersebut tidak duji terhadap
Pasal 33 UUD 1945, tetapi terhadap Pasal 28D ayat (1) Pasal 28H ayat
(4), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Namun di dalam putusan tersebut
Mahkamah Konstitusi memberikan penjelasan baru terhadap Pasal
33 UUD 1945 berkaitan dengan pembatasan penguasaan tanah oleh
warga negara dan badan hukum.
Dalam putusan yang dibacakan pada 20 September 2007
tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan permohon.
Mahkamah Konstitusi berpendapat ketentuan di dalam UU PLTP,
yang mengatur batas maksimal luas tanah pertanian yang dapat
dimiliki oleh perorangan/keluarga warga negara Indonesia, telah
memberikan aturan yang jelas atau memberikan kepastian hukum
(rechtszekerheid) dalam rangka penataan ulang kepemilikan tanah
(landreform) khususnya tanah pertanian. Lebih lanjut Mahkamah
Konstitusi menyampaikan bahwa penataan ulang kepemilikan tanah
bersesuaian dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, UUPA, dan UU PLTP
yang mencerminkan tanah dan kepemilikannya memiliki fungsi sosial.
Berkaitan dengan Pasal 10 ayat (3) UU PLTP yang mengatur
bahwa tanah kelebihan akan jatuh pada negara tanpa hak untuk
menuntut ganti kerugian berupa apa pun, dinilai Mahkamah tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi UUPA mengatur bahwa ganti
rugi diberikan jika tanah yang disita negara tersebut diserahkan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU 56 Tahun 1960.
Pemohon juga mendalilkan bahwa UU PLTP melanggar hak
miliki pribadi yang memiliki sifat terkuat dan terpenuh sehingga tidak
boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun sebagaimana
dinyatakan di dalam konstitusi. Menurut Mahkamah, pemberian sifat
terkuat dan terpenuh terhadap hak milik, sesuai dengan Penjelasan
Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok
Agraria (UUPA), tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak mutlak
yang tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, sebagaimana hak
eigendom menurut pengertian Burgerlijk Wetboek. Karena sifat yang
demikian bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial
dari tiap-tiap hak. Padahal UU PA maupun UU PLTP berlandaskan
Konstitusi Agraria dan Mahkamah Konstitusi 231