Page 263 - Konstitusionalisme Agraria
P. 263
hukum adat. Kata-kata ”terkuat dan terpenuh” dimaksudkan untuk
membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai dan hak lainnya.
8. PUU Migas II: Persetujuan DPR untuk Kontrak Kerjasama
di bidang Migas
Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso
Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo, dan Tjatur
Sapto Edy adalah berdelapan anggota DPR RI yang mengajukan
pengujian UU 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang
diregistrasi di Mahkamah Konstitusi dengan Perkara No. 20/
PUU-V/2007. Pokok permohonan dari perkara ini adalah Pasal
11 ayat (2) UU Migas yang berbunyi: “Setiap Kontrak Kerja Sama
yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.” Ketentuan
itu dianggap bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/
atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pada intinya
pemohon mendalilkan bahwa semestinya kontrak kerjasama tidak
saja diberitahukan secara tertulis oleh pemerintah kepada DPR,
melainkan harus dengan persetujuan DPR.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang dibacakan pada
17 Desember 2007 memutuskan permohonan para pemohon tidak
dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Alasan utama dari tidak
diterimanya permohonan tersebut adalah karena para pemohon
merupakan anggota DPR sehingga tidak memenuhi legal standing
sebagai perorangan warga negara dalam mengajukan permohonan.
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
substansi persoalan dalam permohonan itu adalah persoalan
legislative review, bukan judicial review. Sebab, jika DPR menganggap
hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 11 Ayat (2) UU
232 Konstitusionalisme Agraria