Page 264 - Konstitusionalisme Agraria
P. 264
Migas, sementara kewenangan untuk membentuk dan mengubah
undang-undang ada di tangannya sendiri, maka tentu sangatlah
ganjil jika DPR mengajukan permohonan pengujian undang-undang
kepada Mahkamah Konstitusi. Sebab, jika demikian, berarti DPR
mempersoalkan konstitusionalitas hasil tindakannya sendiri di
hadapan Mahkamah Konstitusi. Jika seandainya DPR alpa, sehingga
membentuk undang-undang yang merugikan hak konstitusionalnya
sendiri, sesuatu yang sulit dibayangkan dapat terjadi, maka tidak
terdapat halangan konstitusional apa pun baginya untuk melakukan
perubahan terhadap undang-undang tersebut.
9. PUU Penanaman Modal: Modal asing dan perpanjangan
di muka hak atas tanah
Terdapat dua permohonan dalam pengujian UU Penanaman
Modal (UU No. 25 Tahun 2007). Pemohon I terdiri dari 1. Diah
Astuti (PBHI); 2. Henry Saragih (FSPI); 3. Muhammad Nur Uddin
( API); 4. Dwi Astuti (YBDS); 5. Salma Safitri Rahayaan (PSP); 6.
Sutrisno (FSBJ); 7. Khalid Muhammad (WALHI); 8. Usep Setiawan
(KPA); 9. Ade Rustina Sitompul (SHMI); dan 10. Yuni Pristiwati
(ASPPUK). Sementara itu, pemohon II terdiri dari 1. Daipin; 2. Halusi
Thabrani; 3. H. Sujianto; dkk. (Pemohon II). Para pemohon dalam
perkara No. 21-22/PUU-V/2007 itu mempersoalkan ketentuan di
dalam UU Penanaman Modal berkaitan dengan perpanjangan di
muka terhadap hak atas tanah beserta sejumlah ketentuan lainnya
yang memberikan “karpet merah” kepada investor. Dalam putusan
yang dibacakan pada 25 Maret 2008 tersebut Mahkamah Konstitusi
mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh pemohon.
Konstitusionalitas modal asing
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak lagi membeda-
bedakan antara modal asing dan modal dalam negeri. Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan dalam UU Penanaman
Modal yang memperlakukan sama atas modal tanpa membedakan
Konstitusi Agraria dan Mahkamah Konstitusi 233