Page 356 - Konstitusionalisme Agraria
P. 356

untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan, maka kawasan itu sudah
            dianggap sebagai dasar yuridis untuk menentukan wilayah kawasan
            hutan sehingga bisa diterapkan ketentuan pidana. Hal ini bukan saja
            sekadar terdapatnya kontradiksi internal (contradictio in terminis),
            tetapi lebih mendasar dari itu adalah sebuah “pembangkangan”
            terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Bahaya dari ketentuan
            ini adalah kriminalisasi terhadap masyarakat yang berada di dalam
            dan di sekitar kawasan hutan yang selama ini berkonflik dengan
            pemerintah dan pengusaha karena tidak ada kepastian hukum
            mengenai batas kawasan hutan. UU Pencegahan dan Pemberantasan
            Perusakan Hutan akan semakin membuat masyarakat mengalami
            represi dari ketidakdilan dan masalah ketidakpastian hukum
            mengenai batas kawasan hutan.
                 Belum lagi bila dikaitkan dengan Pasal 6 ayat (1) huruf d UU
            Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang menyebutkan
            bahwa: “Peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat
            geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan.” Padahal
            berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kekuatan yuridis dari
            kawasan hutan diperoleh setelah ada penetapan kawasan hutan oleh
            pemerintah, bukan berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan.
            Ketentuan-ketentuan yang kontradiktif dalam UU Pencegahan dan
            Pemberantasan Perusakan Hutan menunjukan siasat dari pemerintah
            dan DPR dalam menghindari prinsip-prinsip konstitusionalitas
            undang-undang terkait dengan tanah dan sumber daya alam lainnya.
                 Bahkan penegak hukumpun melakukan siasat ketika Mahkamah
            Konstitusi membatalkan dasar hukum yang digunakannya dalam
            perkara yang ditanganinya berkaitan dengan konflik perkebunan.
            Seperti pada pada perkara  Perkara No. 423/Pid.B/2011/PN.Spt pada
            Pengadilan Negeri Sampit dan Putusan Perkara No. 52/PID/2012/
            PT.PR pada Pengadilan Tinggi Palangka Raya atas nama terdakwa
            Mulyani Handoyo Bin Supeno. Kasus ini pada mulanya adalah
            kriminalisasi terhadap Mulyani Handoyo yang berkonflik dengan
            perusahan perkebunan sawit PT. Buana Artha Sejahtera (PT. BAS),
            anak perusahaan dari Sinar Mas Group yang menanami kelapa sawit
            di tanah masyarakat Desa Biru Maju, Kalimantan Tengah.


                                      Konstitusi Agraria dan Mahkamah Konstitusi     325
   351   352   353   354   355   356   357   358   359   360   361