Page 357 - Konstitusionalisme Agraria
P. 357
Dalam proses pemeriksaan, jaksa memeriksa Mulyani Handoyo
dengan Pasal rumusan Pasal 21 jo Pasal 47 ayat (1), ayat (2) UU No.
18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Ketentuan yang menjadi dasar
pemeriksaan itu kemudian diajukan pengujiannya oleh Japin, Vitalis
Andi, Sakri dan Ngatimin Alias Keling dengan perkara No. 55/PUU-
VIII/2010. Pada tanggal 19 September 2011, Mahkamah Konstitusi
membatalkan Pasal 21 jo Pasal 47 ayat (1), ayat (2) UU Perkebunan.
Namun, meskipun Mahkamah Konstitusi telah membatalkan
ketentuan itu, proses hukum terhadap Mulyani Handoyo tetap
dilanjutkan oleh Penuntut. Jaksa mengubah ketentuan untuk
menjerat Mulyani Handoyo dari Pasal 21 jo Pasal 47 ayat (1), ayat
(2) UU Perkebunan menjadi Pasal 362 Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 dan
2 KUHP berkaitan dengan pencurian dan turut serta melakukan
pencurian. Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi menyatakan
Mulyani Handoyo bersalah dan dipidana penjara. Keadaan ini
menunjukan bagaimana siasat penegak hukum dalam merespons
putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal dalam putusan pengujian
UU Perkebunan itu, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa
apabila terjadi konflik antara masyarakat dengan perkebunan,
jalan penyelesaiannya bukanlah melalui hukum pidana yang
mengkriminalisasi masyarakat, melainkan harus mengutamakan
penyelesaian melalui jalur perdata. Prinsip yang dikemukakan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut tidak sampai ke
“telinga” penegak hukum di daerah.
Kesimpulan
Tiga puluh tiga putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam satu dekade usia Mahkamah Konstitusi (2003-2014)
menunjukan problem yang sangat mendasar dalam politik legislasi di
bidang tanah dan sumber daya alam. Bila dirata-rata, maka terdapat
lebih dari dua putusan Mahkamah Konstitusi setiap tahun dalam
memutus pengujian undang-undang di bidang tanah dan sumber
daya alam lainnya. Lebih dari setengah permohonan yang diajukan
oleh Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
326 Konstitusionalisme Agraria