Page 359 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 359
332 Herman Soesangobeng
logika dan paradigma penegakkan hukumnya pun harus dilakukan
dengan tafsiran yang mengutamakan kepentingan peningkatan
kesejahteraan serta kemakmran rakyat sebagai WNI. Demikian
juga logika dan paradigma yang sama pun harus dijadikan pedoman
acuan utama dalam setiap penegakkan hukum serta penyelesaian
sengketa pertanahan dan keagrariaan, agar penyelesaiannya
bisa mencerminkan rasa keadilan rakyat secara manusiawi serta
bermartabat Indonesia.
Selanjutnya, karena filosofi, asas dan ajaran Hukum
Pertanahan juga mengatur tanggungjawab pidana atas hak
keperdataan orang (corpus), maka norma yang dijadikan kaidah
hukum dalam Undang-Undang Pertanahan pun haruslah
menetapkan sanksi pidana terhadap setiap perbuatan hukum
dalam perolehan serta peralihan hak atas tanah yang
menyimpang dan bertentangan dengan filosofi, asas, ajaran dan
teori Hukum Pertanahan Indonesia. Maka proses penegasan hak
kepemilikan ‘de jure’ yang dilakukan oleh para pejabat Negara pun
tetap dilekati dengan tanggungjawab pidana seumur hidup atas
tindakan hukum penerbitan sertipikat hak ‘de jure’. Demikian
juga terhadap orang yang mendaku/mengklaim secara salah dan
tanpa hak atas tanah milik ‘de jure’ orang lain pun, dilekati beban
tanggungjawab pidana seumur hidup, atas kesalahan tindakan
pendakuan yang salah dan mengada-ada atas bidang tanah
tertentu. Sebab itu berarti, ia telah mendaku tanpa hak atas tanah
milik orang lain. Kewajiban pidana kesalahan pendakuan dan
penujukkan batas itu, masih dapat diterima untuk dimaafkan, jika
terjadi atas bidang tanah yang diduduki dan dikuasai pemegang
hak milik ‘de facto in concreto’. Akan tetapi, terhadap bidang tanah
yang sudah dimiliki dengan hak ‘de jure’, yaitu tanah yang sudah
didaftarkan secara sah menurut hukum positif Negara RI, maka
kesalahan itu tidak bisa dimaafkan sehingga beban tanggungjawab
pidananya pun tidak bisa dihapus. Karena itu sistim pendaftaran
tanah Indonesia dengan dasar teori ‘de facto-de jure’ itu haruslah
bersifat positif.
Ketentuan pidana atas tanah itu adalah kejahatan, sehingga