Page 357 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 357
330 Herman Soesangobeng
kemakmuran rakyat Belanda di Negeri Belanda; sementara rakyat
Indonesia yang dinamakan orang penduduk Bumiputra, dibiarkan
melarat tanpa hak kepemilikan atas tanahnya. Demikian pula
administrasi hukum pertanahan dan hubungan keagrariaan
Belanda itu pun, hanya untuk mendukung kepastian hukum
bagi perolehan dan penggunaan serta kepemilikan tanah warga
Negara Belanda dan orang Eropah dengan sebagian orang
Timur Asing yang memenuhi syarat hukum Pemerintah Belanda.
Penegakkan asas, ajaran dan tujuan filosofi kedua teori
‘eigendom’ itu, selama berabad-abad sampai 67 tahun setelah
kemerdekaan Indonesia, terbukti telah menyengsarakan rakyat
Indonesia dan menimbulkan sengketa menahun antara rakyat
dengan Pemerintah dan Pengusaha. Karena tuntutan rasa keadilan
hak kepemilikan ‘eigendom’ dengan ‘domeinverklaring’, bertentangan
langsung dengan tuntutan rasa keadilan rakyat sebagai warga
Negara Indonesia (WNI). Bahkan karena penguasaan hakekat
makna filosofi, asas, ajaran dan teori Hukum Pertanahan Adat
Indonesia (beschikkingsrecht) yang tidak dipahami dengan baik
dan benar oleh para pejabat Negara RI, menyebabkan terjadinya
kerancuan tafsir dan kekacauan tindakan penegakkan Hukum
Agraria Nasional Indonesia (UUPA 1960); dengan akibat hukum,
pelanggaran ‘hak asasi WNI’ (HAWNI) atas tanah, dan juga
pelanggaran ‘hak asasi manusia’ (HAM).
Kerancuan dan kekacauan tindakan penegakkan Hukum
Agraria Nasional Indonesia itu, utamanya disebabkan karena
penegakkannya masih menggunakan logika dan paradigma
penafsiran hukum pertanahan BW/KUHPInd. dengan praktek
hukum agraria Hindia Belanda, bagi penegakkan teori kepemilikan
‘eigendom’ pribadi dan ‘domeinverklaring’ Negara di Indonesia
yang sudah merdeka dan beradulat atas tanahnya. Untuk
mengisi kekosongan sumber dasar hukum penegakkan UUPA
1960 dan penggantian kedua teori hak kepemilikan perdata
Hindia Belanda atas tanah itulah, maka disusun Undang-Undang
Pertanahan Indonesia dengan dasar teori kepemilikan ‘de facto-de
jure’. Teori kepemilikan hak keperdataan ini, merupakan hasil