Page 353 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 353
326 Herman Soesangobeng
Tujuannya adalah untuk mendapatkan hasil tanah yang
bisa dinikmati, baik berupa hasil pertanian natura maupun
uang ataupun tenaga kerja. Dalam suasana tradisional
hukum adat, perbuatan hukum agraria itu bersifat perjanjian
langsung di antara para pihak yang akan menggunakan tanah,
dalam hal ini fungsi pejabat masyarakat hukum adat, hanya
berfungsi sebagai sekadar mengetahui dan membenarkan
perbuatan hukum agraria yang dilakukan.
Dalam suasan hukum nasional NKRI, maka penerjemahan
dang tafsiran kontemporer terhadap pejabat perjanjian agraria
adat ini, adalah pejabat administrasi Negara, baik berupa
pejabat Desa, Camat, maupun pejabat dari masing-masing
Departemen terkait yang berwenang mensahkan perbuatan
hukum perjanjian agraria. Bentuknya pun bukan merupakan
suatu akta tanah, melainkan perjanjian sewa yang merupakan
keputusan pemberian izin pemakain dan penggunaan tanah
selam waktu tertentu dengan pembayaran uang sewa ataupun
pembagian bagi hasil.
21. Pendaftaran tanah adat:
Masalah pendaftaran tanah masyarakat hukum adat
yang pernah menjadi isu tentang pendaftaran tanah
‘ulayat’, dengan berlakunya teori ‘de facto-de jure’, tidak lagi
diperlukan. Alasan hukumnya adalah, karena hak-hak atas
tanah dari masyarakat maupun hak atas tanah adat,
sudah tidak lagi diperlukan. Sebab sifat berlakunya hukum
adat dengan hak tanah masyarakat hukum adat, tidak lagi
dipersyaratkan dengan ketentuan “… sepanjang menurut
kenyataan masih ada…”. Penafsiran atas ketentuan UUPA
1960 ini, menyebabkan lahirnya ketentuan dalam PMNA
5/1999, yang sebenarnya tidak diperlukan. Keberadaan
masyarakat hukum adat itu, sudah difatwakan dalam UUD
1945, sehingga hak-hak atas tanahnya pun diakui sah, maka
pernyataan “… sepanjang menurut kenyataan masih ada…”,
adalah bertentangan dengan norma dasar konstitusional