Page 350 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 350

Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum ....     323


                    lembaga ‘kesepakatan pendahuluan’ (voorovereenkomst) dalam
                    BW/KUHPInd. yang diwarisi dari ajaran hukum perjanjian
                    Romawi ‘pactum de contrahendo’.
                       Hukum pertanahan adat yang bersifat konkrit atau nyata
                    (kontant  handelingen), mengajarkan bahwa  semua perbuatan
                    hukum harus dilakukan secara tuntas dan langsung mengikat
                    semua pihak ke tiga (de derde partij), sehingga harus mematuhi
                    ketentuan hukum ‘tunai dan terang’. Jadi, semua perbuatan
                    hukum  atas tanah,  tidak  boleh dilakukan  secara  informal
                    tanpa bukti  hukum  yang sah, sehingga penggunaan APJB/
                    PPJB ciptaan Notaris, adalah  tidak  sah  dan  melawan
                    ajaran   Hukum   Pertanahan   Nasional. Lembaga PPJB/APJB
                    diciptakan Notaris, karena Notaris menggunakan cara berpikir
                    dengan logika dan paradigma hukum BW/KUHPInd.  yang
                    sangat bertentangan dengan logika dan paradigma  Hukum
                    Pertanahan  Adat.  Karena itu,  Notaris harus dilarang  ikut
                    serta membuat akta perjanjian jual beli yang menyebabkan
                    terjadinya peralihan hak serta penyerahan tanah.
                       Demikianlah proses dan logika serta paradigma
                    membawa masyarakat hukum dengan hak-hak tanah adatnya
                    ke dalam pengaruh Hukum Pertanahan Nasional. Cara ini
                    diberlakukan,  karena  setiap  orang  yang sudah berstatus
                    hukum  sebagai WNI,  adalah otomatis  demi/karena  hukum
                    (van  rechtswege)  menjadi  pemilik  tanah  ‘de  facto’.  Sehingga
                    perubahan dari hak milik ‘de facto in concreto’ menjadi  ‘hak
                    hukum’  (de jure),  melalui  proses pendaftaran  tanah menurut
                    peraturan  hukum  Negara yang berlaku,  hanya merupakan
                    penegasan  sifat  hukum  kepemilikan  tanah  dari  seorang
                    WNI  ‘pemilik  sebenarnya’  atas tanah miliknya.  Dengan
                    lain perkataan, ‘membawa masyarakat dengan hak-hak adat
                    ke  dalam  pengaruh hukum pertanahan  Nasional’ hanya
                    merupakan satu proses menegaskan hak kepemilikan tanah
                    WNI ke dalam sistim Administrasi Pertanahan Nasional,
                    yaitu bersifat meneguhkan hak hukum ‘de jure’-nya WNI atas
                    tanahnya.
   345   346   347   348   349   350   351   352   353   354   355