Page 345 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 345
318 Herman Soesangobeng
WNI dengan tanahnya dalam lingkungan hukum NKRI.
Artinya, sekalipun WNI adalah pemilik tanah sebenarnya,
akan tetapi hak kekuasaan mengatur dari Negara tidak
pernah berakhir apalagi lenyap. Karena pemilikan ‘de facto
in abstracto’, adalah kepemilikan WNI dalam hal ini hak
kekuasaan Negara RI masih lebih kuat dan penuh dalam
mengatur penggunaannya.
Kemudian setelah orang memiliki tanah dengan hak
‘de facto in concreto’, maka hak kepemilikan pribadi menjadi
lebih kuat dan nyata sedangkan kekuasaan mengatur
penggunaannya oleh Negara melemah, sehingga setiap
perubahan peruntukan tanahnya, harus dilakukan dengan
persetujuan serta pemutusan hubungan hak keperdataan
orang atas tanah miliknya. Selanjutnya setelah tanah dimiliki
dengan hak milik ‘de jure’, maka hak kekuasaan mengatur
Negara menjadi sangat lemah, bahkan Negara berkewajiban
melindungi dan menjamin secara hukum hak milik pribadi
WNI, sehingga setiap pengaturan atas hak milik ‘de jure’
harus dilakukan dengan pemutusan hubungan keperdataan
pemilik atas tanahnya.
16. Membawa hak-hak tanah masyarakat hukum adat ke
dalam pengaruh Hukum Pertanahan Nasional:
Perlakuan merubah hak-hak atas tanah masrakat hukum
adat, seharusnya bukanlah melalui lembaga ‘konversi’,
melainkan dengan cara ‘membawanya ke dalam pengaruh’
Hukum Pertanahan Nasional. Perlakuan demikian ini adalah,
karena dasar-dasar dan filosofi serta ajaran maupun asas-
asas Hukum Pertanahan Nasional, bersumber pada Hukum
Pertanhan Adat, sehingga perumusan konsep maupun
kelembagaan hukumnya pun sama, walaupun terdapat
perubahan rumusan definisi norma hukumnya. Hakekat
lembaga ‘konversi’ adalah merubah dan menggantikan filosofi,
asas, ajaran dan teori hak atas tanah dengan filosofi, teori,
ajaran dan asas-asas hukum yang baru. Ketentuan konversi