Page 343 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 343
316 Herman Soesangobeng
kearifan lokal untuk membawa persekutuan masyarakat
adat ke dalam pengaruh hukum Negara, senantiasa bisa
terjadi melalui dorongan persuasif sehingga timbul kreatifitas
kearifan lokal untuk menerima sistim pemerintahan Negara.
13. Tanah masyarakat hukum adat bukan milik komunal:
Satu kekeliruan paham terhadap hak-hak atas tanah
masyarakat hukum adat, adalah menganggap tanah
kepunyaan masyarakat sama dengan tanah milik komunal
(communal grond) yang dimiliki dengan ‘hak milik komunal’
(communaal recht). Atas dasar kekeliruan tafsir para penulis
Belanda terhadap hak-hak adat yang di daerah-daerah
seperti di Minangkabau disebut ‘hak ulayat’, Kalimantan,
‘panyampeto’ dan ‘pawatasan’, Buru, ‘nuru’, Minahasa, ‘pasini’
itu, maka disebutlah tanah-tanah dengan lembaga adat
itu sebagai tanah ‘komunal’. Padahal konsep hukum adat
tentang tanah-anah itu adalah sebagai ‘milik bersama’ yang
dikuasai masyarakat hukum dengan ‘hak kepunyaan’ tertinggi
untuk membagi dan menyediakan tanah bagi penggunaan
warga masyarakatnya. Tanah milik bersama itu dalam adat
Minangkabau disebut ‘milik basamo’, yang diartikan sama
dengan tanah warisan leluhur sebagai harta ‘pusaka tinggi’
maka disebut juga ‘tanah ulayat’. Karena itu, tanah milik
bersama oleh kesatuan keluarga, desa, maupun suku, tidak
dapat disamakan dengan tanah komunal. Sebab milik bersama
itu, hanya dalam kekuasaan mengatur serta pembagiannya,
yang belum bertumbuh menjadi hak milik yang terkuat dan
terpenuh yang bisa dimiliki pribadi hukum. Maka kekuasaan
dan kewenangan mengatur itu lalu disebut hak ‘kepunyaan’,
bukan hak milik yang sesungguhnya.
14. Hak sementara adalah hak agraria dan hak tetap adalah
hak milik:
Proses pertumbuhan hak milik dalam hukum pertanahan
adat mengenal pembedaan antara hak sementara dan
hak tetap. Hak sementara adalah hak- hak dalam hal ini