Page 344 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 344
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum .... 317
kekuasaan masyarakat hukum adat masih sangat kuat dan
penuh mengikat atas hak individu. Hak-hak sementara ini,
oleh Ter Haar, disebut ‘hak atas hubungan keagrariaan’ alias
‘hak agraria’; sementara hak yang bersifat tetap disebutnya
‘indlands bezitsrecht’ dan diterjemahkan menjadi ‘hak milik
pribumi’. Hak milik pribumi (indlands ezitsrecht) inilah yang
diterjemahkan ke dalam Pasal 20 ayat 1 UUPA 1960 dengan
nama ‘ dirumuskan sebagai ‘hak yang terkuat dan terpenuh’.
Rumusan hak milik pada Pasal 20 ayat 1 itu, sepenuhnya
sama dengan pngertian hak ‘milik pribumi’ yang dalam
konteks hukum pertanahan adat Indonesia termasuk ‘hak
keperdataan’ atas tanah, yang terdiri atas hak milik dan hak
pakai. Hak ‘milik pribumi’ itu digolongkan sebagai ‘hak
tetap’ oleh Ter Haar, karena pengaruh hak kekuasaan
masyarakat hukum adat sudah menjadi sangat lemah,
sementara kekuasaan perorangan sebagai pribadi hukum
(corpus) sudah menjadi sangat kuat, sekalipun tetap berada
dalam ikatan pengaruh kekuasaan masyarakat hukum
yang tidak pernah lenyap. Kuatnya pengaruh kekuasaan
perorangan itulah yang menyebabkan Ter Haar memandang
kekuasaan individu itu sudah bertumbuh menjadi sama
dengan suatu hak keperdataan, namun tetap terikat pada
keabadian pengaruh kekuasaan masyarakat hukum, sehingga
Ter Haar mengemukakan teori yang disebutnya ‘menguncup-
mengembang’ (inkrimpen en uitzetten).
15. Kesamaan teori ‘menguncup-mengembang’ dengan ‘hak
menguasai dari Negara’ (HMDN):
Hak kekuasaan masyarakat hukum adat atas tanah yang
bersifat abadi itu telah diterjemahkan kembali ke dalam
sistim hukum pertanahan dan keagrariaan Indonesia melalui
Pasal 1 UUPA 1960 tentang keabadian hubungan Bangsa
Indonesia atas tanahnya. Karena itu, teori hukum pertanahan
adat ‘menguncup-mengembang’ dari kekuasaan masyarakat
hukum adat, juga bisa digunakan atas keabadian hubungan