Page 341 - Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria
P. 341
314 Herman Soesangobeng
12.c. Tanah sebagai wilayah teritorial hukum dengan
ragam jenis haknya:
Logika dan paradigma penanganan penegakkan aspek
tanah sebagai wilayah hukum dengan ragam jenis haknya,
merupakan aspek yang paling sulit dibawa ke dalam pengaruh
kekuasaan Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Nasional
Indonesia. Kesulitannya adalah karena perubahan untuk
membawanya ke dalam pengaruh hukum pertanahan
nasional, menyangkut individu dan kumpulan orang-orang
yang sudah mempunyai hubungan kuat yang membatin dan
mendasar dengan tanahnya. Sehingga tiap perubahan apalagi
pemutusan hubungan sosial maupun keperdataan dengan
tanahnya, menjadi sangat peka dan mudah memicu sengketa
menahun, karena sering berulang dengan alasan yang sukar
diduga sebelumnya. Maka metode penanganannya adalah
dengan membawa masyarakat sebagai satu persekutuan
hukum adat bersama hak-hak atas tanahnya di dalam
pengaruh sistim hukum Negara yang bersifat nasional,
sebagai berikut:
12.c.1. Hak atas tanah:
Hak-hak masyarakat hukum adat atas tanahnya tidak
perlu diubah melainkan dilembagakan kembali menjadi
hukum dalam Negara RI. Hak kekuasaan masyarakat hukum
adat atas tanah dalam lingkungan kuasanya yang disebut
‘beschikkingsrecht’ oleh Van Vollenhoven, telah dilembagakan
kembali dalam Pasal 33 UUD 1945, menjadi ‘hak
menguasai’. Hak mana dipertegas pelembagaan kembalinya
oleh UU No. 5/1960 (UUPA 1960) dengan nama ‘hak
menguasai dari negara’ (HMDN). Hak kekuasaan atas tanah
itupun, bersifat melanjutkan sifat hukum hak kekuasaan
masyarakat hukum adat untuk menguasai tanah dengan ‘hak
kepunyaan’, sehingga hakekat ‘hak menguasai dari negara’
adalah merupakan ‘hak kepunyaan’, bukan hak milik.