Page 31 - Permasalahan Sektoralisme Kelembagaan Agraria di Indonesia
P. 31
kasus-kasus okupasi tanah tersebut, pemerintah juga harus berhati-
hati dan mewaspadai terhadap para oknum baik masyarakat maupun
pemerintah dan pengusaha yang justru memperkeruh suasana. Karena
tidak jarang ada oknum tertentu yang justru mengambil keuntungan
dari konflik yang ada.
Fakta lapangan yang bertolak belakang dengan terbatasnya
ketersediaan tanah berhadapan dengan kebutuhan akan tanah
yang luar biasa tinggi terlihat pada kawasan kehutanan. Kawasan
kehutanan memiliki yurisdiksi yang dikukuhkan melalui Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang secara tegas menentukan
luas dan batas kawasannya. Kemampuan kelembagaannya yaitu
kementerian kehutanan untuk bisa menjaga eksistensi kawasannya
tanpa memperdulikan kehidupan dan kebutuhan masyarakat sekitar
seringkali menimbulkan efek kriminalisasi baik terhadap masyarakat
maupun aparatur pemerintah lainnya. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan sebelumnya di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat dijumpai
sebuah kasus yang sangat unik. Dimana atas suatu tanah yang telah
diberikan kepada masyarakat melalui kegiatan redistribusi tanah
oleh BPN, dapat kemudian dibatalkan oleh Departemen Kehutanan
dan dilakukan penarikan sertipikat. Hal ini dilakukan dengan dalih
bahwa kawasan dimaksud adalah masuk dalam kawasan hutan.
Belum lagi ketika dilakukan wawancara dengan pejabat Perhutani
KPH Tasikmalaya, dikatakan bahwa ada prinsip yang harus dijaga oleh
para pegawai kehutanan. Yaitu bahwa “areal hutan harus tetap lestari
bahkan harus bertambah luasnya”. Prinsip ini diakui merupakan
27
upaya untuk mempertahankan agar lingkungan hutan terus lestari.
Namun juga di sisi lain, kita akan melihat bahwa ada sebuah sikap
“abai” terhadap kebutuhan masyarakat akan tanah.
27 Hasil wawancara dengan Pejabat Perhutani KPH Tasikmalaya, Penelitian Sistematis
STPN 2013. Tumpang Tindih Perundang-undangan Agraria di Indonesia.
22 Permasalahan Sektoralisme Kelembagaan Agraria di Indonesia