Page 136 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 136
III. MASALAH PENGGARAPAN TANAH RAKYAT UNTUK TANAMAN
TEBU
A. PENDAHULUAN
(1) Di Jawa terdapat 55 pabrik gula yang kecuali 2 pabrik seluruhnya
menggunakan tanah rakyat untuk tanaman tebunya. Tanah rakyat yang
setiap tahun ditanami tebu dengan sistem “glebagan” ini meliputi kira-
kira 80.000 ha. Tanah rakyat tersebut disewa dari petani pada umumnya
selama 16 bulan.
(2) Karena perkembangan penduduk, kebutuhan tanah rakyat untuk
produksi pangan makin lama makin menekan sehingga harga sewa yang
harus dibayar oleh pabrik- pabrik gula untuk tanaman tebu setiap tahun
semakin meningkat. Menghadapi pelepasan/penyediaan tanah rakyat
yang makin sulit ini pabrik-pabrik gula tidak mampu membayar harga
sewa yang terus naik.
Dalam hal penerimaan tingkat sewa tanah tertentu oleh petani selalu
ada semacam unsur “pengorbanan” pada pihak petani pemilik tanah.
Hubungan antara pabrik gula dan petani pemilik tanah pada umumnya
tidak selalu “harmonis”. Berbagai upaya telah ditempuh untuk mencari
cara yang dapat memuaskan semua pihak yaitu petani, pabrik gula dan
pemerintah, misalnya melalui sistem bagi hasil pada tahun 1963, baik
secara kooperatif maupun kolektif. Namun cara-cara tersebut temyata
tetap belum memuaskan bagi semua pabrik gula. PG Madukismo dan
Krebet Baru sampai laporan ini disusun melaksanakan sistem bagi hasil
yang temyata cukup memuaskan.
(3) Keharusan untuk menetapkan tingkat sewa yang dianggap “adil” oleh
pemerintah daerah setiap tahun, makin lama dianggap makin berat.
Dalam keadaan yang demikian timbul ide apakah tidak akan lebih baik
apabila pabrik gula tidak usah setiap kali menyewa tanah rakyat tetap
membeli (saja) tebu yang ditanam sendiri oleh petani secara sukarela.
Karena setiap 3 tahun sekali selama puluhan tahun tanah mereka sudah
ditanami tebu, maka dengan bimbingan yang intensif dari pabrik- pabrik
gula dan pemberian kredit yang secukupnya, tentulah akhimya petani
101