Page 137 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 137
sanggup mengusahakan tanaman tebu sendiri seperti juga tanaman padi,
jagung, tembakau dan tanaman palawija lainnya. Kalau beberapa daerah
seperti Malang Selatan (areal PG Krebet Baru) dan Kediri (areal PG
Pesantren) tanaman tebu rakyat dapat berkembang baik dan pendapatan
petani dari tanaman tebu lebih tinggi daripada tanaman padi, maka
diduga tebu rakyat dapat pula dikembangkan di daerah-daerah lain.
(4) Demikian, maka dikeluarkanlah instruksi Presiden No. 9 April 1975
yang berisi instruksi pengalihan sistem penggunaan tanah rakyat untuk
tanaman tebu dari sistem sewa (yang berlaku sejak zaman penjajahan
1918) menjadi sistem tebu rakyat. Pengalihan sistem ini diharapkan
dapat dilakukan secara bertahap sejak musim tanam tahun 1975,
tetapi hendaknya seluruhnya sudah selesai (seluruh tanaman tebu
sudah merupakan tanaman tebu rakyat) pada musim tanam 1979.
Adapun tujuan instruksi tersebut adalah (1) untuk meningkatkan dan
memantapkan produksi gula, (2) untuk meningkatkan pendapatan
petani tebu, (3) (tidak tertulis secara tegas), untuk memperluas
kesempatan kerja serta meningkatkan perataan pendapatan masyarakat
petani di pedesaan.
B. MASALAH
(1) Dari segi hukum, sistem sewa yang sudah berjalan lebih dari setengah
abad sejak 1918, memang merupakan satu sistem yang sudah mapan.
Sistem sewa ini dipergunakan karena dapat memenuhi kebutuhan
pabrik-pabrik gula akan tanah untuk tanaman tebu tetapi hak milik
atas tanah tidak perlu lepas dari tangan petani. Sesudah kemerdekaan
dan setelah diundangkannya UUPA, maka dikeluarkanlah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 38/1960 untuk
menjamin bahwa pabrik-pabrik gula akan memperoleh tanah yang
diperlukan yaitu sekitar 80.000 ha setiap tahun. Peraturan Pemerintah
yang kemudian menjadi Undang-undang No. 38 Prp/1960 ini sampai
sekarang masih berlaku.
Dengan adanya Inpres No. 9/1975, maka timbul persoalan apakah UU
No. 38 Prp/1960 masih dapat dipakai sebagai jaminan penyediaan tanah
untuk tanaman tebu.
102