Page 112 - Mozaik Rupa Agraria
P. 112
“Ya, lalu Bapak membuat diskresi agar para penyenggrong
masuk kembali ke taman nasional?”
“Itu karena mereka penduduk desa ini, bukan orang lain.
Mereka itu saudara-saudaramu, Mar. Mereka menanggung
akibat jika lereng Merapi rusak. Jika bukan aku yang melindungi
wargaku, siapa lagi? Lurah yang dulu pengusaha material di kota,
dialah yang memasukkan bego-bego itu. Selama aku jadi lurah,
tidak satu pun bego akan masuk desa ini. Itu janjiku pada wargaku,
para penyenggrong itu.”
Aku merasa dihimpit dua gunung besar, di saat yang sama
aku merasa berdiri pada titian benang yang melintang di atas
jurang terdalam. Membela negara adalah kewajibanku, itu alasan
seragam ini kukenakan. Namun, aku juga tidak menyangkal,
pasir-pasir Merapi terlanjur mengalir dalam urat nadi warga
desa ini, telah menjadi sumber penghidupan mereka. Pasir-
pasir itu juga dibutuhkan bagi percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi di mana-mana. Persoalannya, aku
menghadapi kawanan pencuri, dan di antara para pencuri itu
adalah kerabatku. Bagaimana tidak? Paman dan kakakku pasti
mendapat keuntungan dari hasil nyoker, bahkan hampir setiap
orang di desa ini menikmati santunan Paguyuban Gawe Goro.
Pasir-pasir itu tak hanya sumber ekonomi, pasir-pasir itu telah
menjadi dagangan politik ketika bapakku menjanjikan keamanan
rejeki bagi para pemilihnya, melindungi mereka dari keserakahan
pemodal-pemodal besar di kota. Tetapi, apakah bedanya, ketika
Paimin dan Lik Purnomo hanyalah wayang, sedangkan pemodal-
pemodal besar itu tetaplah menjadi dalang?
“Mar, aku menanti keputusan kantormu perihal tataguna
wilayah yang baru. Sebelum keputusan itu ada, aku hanya melarang
siapa pun nyoker dekat Kandang Macan dan di bantaran sungai.
Kau juga sudah menyaksikan, warga telah menyemai dan merawat
Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 99