Page 110 - Mozaik Rupa Agraria
P. 110
“Sudah, Pur. Cukup! Mulutmu itu harimaumu. Kita tunggu
Syamsul dulu,” bapakku memotong pembicaraan, “Mar, aku minta
kamu tidak membawa kasus ini ke kantor. Kita selesaikan masalah
ini secara kekeluargaan. Kita akan ambil jalan tengah. Pasir itu
selalu jadi ancaman jika tak diubah jadi berkah. Dan kamu, Min,
jangan pernah dekati Kandang Macan.”
“Inggih, Ndoro Lurah. Saya patuh sama Ndoro.”
“Tapi, Bapak. Perkara ini murni hukum, ini pelanggaran
undang-undang. Apa ini akan jadi kisah negara kalah sama
bromocorah, kalah sama penjahat? Apa Bapak sedang mencari-
cari celah aturan?”
“Hukum itu dibuat untuk dilanggar, Mar! Tanpa pelanggaran,
hukum tak akan jalan. Bapakmu paham itu,” pamanku menyela.
“Diam kamu, Pur!” Bapakku membentak paman, “maksudku
begini, Mar. Kamu ngerti kan? Tidak semua masalah harus selesai
lewat hukum. Hukum juga tidak menyelesaikan semua persoalan,
banyak yang tetap jadi masalah ketika vonis dijatuhkan.
Pengadilan bukan satu-satunya tempat untuk menyelesaikan
persoalan. Menjaga keutuhan masyarakat itu jauh lebih penting,
Mar. Keteraturan akan terjaga sepanjang sengketa bisa diredam.”
“Maaf, Pak. Dalam perkara ini aku bukan putramu, aku adalah
abdi negara. Aku tak boleh membiarkan kerusakan atas nama
kesejahteraan. Di luar sana sudah banyak contoh, hutan rusak
jadi perkebunan bahkan tambang. Kalau lereng Merapi ini rusak,
siapa yang dirugikan? Kita, Bapak. Kita yang rugi, wargamu yang
sengsara. Nyoker di bantaran sungai bisa membunuh mata air.
Apalagi membakar hutan. Taman nasional ini hadir agar sumber
penghidupan kita lestari, Pak,” tukasku membangun alasan di
hadapan Bapakku.
Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 97