Page 109 - Mozaik Rupa Agraria
P. 109
“Erupsi, Min. Bukan interupsi,” aku mengoreksi Paimin,
“memang cukup sering, Min, biasanya empat sampai lima tahun
sekali. Entah besar, entah kecil. Apa kamu tidak kenal desamu,
Min? Apa kamu tidak hafal watak Merapi?” Jawabku.
“Kalau soal Merapi, Den Qomar yang paling ngerti. Saya cuma
dengar dari simbah-simbah, dari leluhur. Kata mereka, gunung
Merapi ajeg njeblug, rutin meletus, Den. Saya ini bukan orang
sekolahan, ndak ngerti tembung-tembung njelimet, ndak tahu
kata-kata yang rumit. Takut salah, Den.”
“Apa kubilang, benar kan, Min? Jadi, Min, kamu itu pensiun
nyoker kalau Merapi sudah berhenti njeblug, berhenti meletus.
Pasir-pasir itu tetap harus diambil, Min. Kota Pelajar sedang gencar
membangun hotel, mall, apartemen, dan bandara internasional.
Di mana-mana juga sedang dibangun pabrik semen dan jalan
tol. Apa mereka mau pakai pasir laut buat bikin semua itu? Ya
ndak mungkin!” pamanku memprovokasi, mata Paimin berbinar
menyambutnya, “artinya, kamu itu pahlawan pembangunan,
bukan penjahat lingkungan, Min,” sesumbar pamanku, seakan-
akan menang. Wajah Paimin jadi makin cerah.
“Tapi, itu bukan berarti boleh menambang di taman nasional,
Min. Taman nasional itu wilayahnya negara,” kataku menegaskan
makna kawasan taman nasional.
“Halah! Min, ndak usah di dengar. Omong kosong itu. Taman
nasional cuma akal-akalan pejabat untuk dagangan, Min. Mereka
melarang penduduk sekitar taman nasional masuk kawasan, tapi
mereka membujuk wisatawan menjelajahi kawasan terlarang. Iya
kan, Mar? Dulu sebelum ada aturan ini itu, mana ada hutan rusak,
penduduk itu ngerti gimana memelihara sumber nafkahnya,”
pamanku masih bersikeras dengan sikapnya.
96 Mozaik Rupa Agraria: Dari Ekologi Politik hingga Politik Ruang