Page 104 - Mozaik Rupa Agraria
P. 104
“Kamu itu ditanya bagaimana kejadiannya, malah minta
ampun segala! Ndak (tidak) ada yang bakal memenjara kamu,
Min,” ucap pamanku, “aku sendiri yang jamin, siapa ndak kenal
Purnomo?”
“Apa benar tadi pagi kamu nyoker di bantaran sungai, Min?”
bapakku menanyai Paimin.
“Inggih, Ndoro Lurah,” jawab Paimin mengiyakan dalam
bahasa Jawa halus, Paimin sudah mulai tenang, “tapi belum juga
diangkut, Ndoro. Ndak pake bego, cuma saya cangkul dari bawah”.
Penduduk di desaku biasa menyebut excavator atau backhoe
sebagai bego.
“Ini sudah yang ke berapa kali kamu nyoker di bantaran
sungai, Min?”
“Baru sekali, Ndoro. Sungguh. Nyuwun kawelasan” Paimin
memohon belas kasih bapakku.
“Dengan minggu lalu dan minggu sebelumnya sudah tiga
kali,” aku menyahut, mengoreksi jawaban Paimin.
Paimin memandangku sekilas, lalu tampak ketakutan.
Pamanku mendengus mendengar kataku.
“Terus kalau kamu kejugrugan, tertimbun pasir, apa kamu
ndak mikir, Min?” ujar bapak. Paimin hanya membisu.
“Ya ndak bakal kejugrugan, orang Paimin kalau nyoker ndak
pernah bikin terowongan,” pamanku menyanggah, “nah, kalo
Paijo itu beda, dia nyokernya bikin terowongan, makanya isterinya
jadi janda, anaknya jadi yatim.”
Paijo adalah kawan kerja Paimin, satu bulan yang lalu ia
tertimpa longsor saat nyoker di dekat Kandang Macan, lokasi yang
digolongkan zona inti taman nasional, kawasan yang harus bersih
dari kegiatan manusia. Tubuh Paijo ditemukan setelah terkubur
Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 91