Page 102 - Mozaik Rupa Agraria
P. 102
Jaman telah berganti. Kini, berkah letusan Merapi yang paling
berharga ialah isi bumi, tak lagi hasil tani. Berbongkah-bongkah
batu dan pasir-pasir yang membukit siap sedia ditukar menjadi
duit. Lebih melimpah serta lebih cepat ketimbang yang didapat
dari peternakan dan pertanian. Dalam satu hari, sedikitnya
seratus truk hilir mudik mengangkut luapan erupsi Merapi.
Laba ratusan juta rupiah diperoleh dalam satu bulan. Kegiatan
ngarit (mencari rumput untuk pakan ternak) dan recek (mencari
ranting untuk kayu bakar) perlahan digeser nyoker (mengeruk
pasir untuk dijual) para penyenggrong (para penambang pasir).
Bagaimana tidak menggoda? Seorang penyenggrong bisa meraup
upah tujuh puluh lima ribu rupiah per hari dari nyoker. Di
desaku, tidak seorang pun bebas dari sentuhan pasar pasir dan
batu. Bapakku memenangkan jabatan kepala desa karena pasir
dan batu. Pamanku berhasil menjadi juragan truk pengangkutan
karena pasir dan batu. Kakakku sukses menjadi pengusaha bahan
material dan naik haji juga karena pasir dan batu. Begitu pula aku,
tanpa pasir dan batu, pendidikanku tak mungkin terbiayai, hingga
akhirnya aku dapat meraih gelar ahli madya konservasi hutan, dan
resmi mengenakan seragam staf balai taman nasional pada 2005
yang lalu.
Aku ditempatkan di wilayah dekat kampung halaman.
Seragam ini membuatku bangga. Setiap kali aku bercermin, aku
teringat bapakku di masa mudanya dulu. Ia tampak gagah dalam
balutan seragam abdi negara tingkat bintara. Meski pun bapakku
tak lagi mengangkat senjata, seragam bapakku masih menyisakan
wibawa bagi pemakainya. Bahkan hingga sekarang, kebanyakan
orang di desaku tetap memercayai: ajining sarira katon saka
busana, martabat dirimu tampak dari busanamu. Wajar bila
tiada yang mau mengenakan seragam tahanan atau kostum
gelandangan.
Ekologi Politik/Ekonomi Politik Sumberdaya Agraria dan Lingkungan Hidup 89